Saya Muslim Bukan Teroris

Saya Muslim Bukan Teroris
Ko Jeena
Untuk menanggapi sebuah isu membutuhkan kepekaan yang bisa dikatakan luar biasa. Sebab jika kita hanya mengetahui kulit permasalahan tanpa tahu pokoknya, itu sama saja kita menelan mentah-mentah polemik global sesuai dengan opini yang hendak diutarakan si pemilik kepentingan. Boleh jadi kita menjadi korban opini tersebut.

Pertengahan Bulan Agustus,
Saat ini musim hujan. Di luar sana deru hujan menerjang seng tempat aku berlindung, ‘Krompyang!’ Sesekali seng yang pakunya terlepas menimbulkan bunyi ribut karena tertiup angin deras. Keadaan dingin seakan membekap seluruh raga, bayangkan jika sebelumnya aku harus berlari menghindari hujan yang datang tiba-tiba saat aku dalam perjalanan pulang sholat Isya. Meski cepat namun tempias-tempiasnya berhasil membuat aku basah juga.
Memang sudah kewajiban seorang muslim lelaki untuk menunaikan sholat lima waktu sebisanya di Masjid, keharusan kita untuk memuliakan Masjid. Begitu pula aku, di luar jam berkantor sebisa mungkin aku harus dapat mengunjungi rumah Allah satu ini. Itu berarti ketika sholat Maghrib, Isya, dan Shubuh tentunya. Sebab aktivitas berjualan menyita waktu dari pagi hingga ba’da Ashar. Berjualan? Iya benar, kantorku adalah sebuah lapak berjualan di pasar tradisional. Lalu bagaimana dengan dzuhurnya(?) santai saja ... di pasar tradisional sekalipun tetap disediakan tempat sepetak kecil untuk sholat. Dan itu dekat dengan lapakku.
Lima belas menit berjalan tak juga derasnya hujan terlihat berbaik hati mereda. Tubuh ini sudah terlanjur gelisah dengan basahnya, walaupun hati kerap kali menguatkan jika ini adalah nikmat Allah. ‘Tenang saja Ahmad, hujan ini termasuk nikmat Allah, jadi jangan engkau dustakan’ gumam hati melerai gelisah ini.
‘Apakah aku terjang saja hujan ini? toh rumahku hanya beberapa Blok dari sini’ kembali hati menuai konliknya. Namun jika melihat situasi real tentang hujan ini, rasanya tidak mungkin untuk menerjangnya. Gamisku pasti basah kuyup, jadi aku tidak mau ambil resiko. Memperhitungkan segala konsekuensinya, musim hujan pasti sulit sinar matahari menerobos hangatkan bumi. Lebih baik aku menanti di sini sejenak hingga hujan benar-benar reda.
Di halte tempat aku berteduh saat ini aku tidak sendirian. Ada pula bersamaku seorang Ibu menggandeng anaknya yang mungkin usianya kira-kira lima tahunan. Dengan melihat bawaan si kecil, aku yakin jika mereka baru saja dari food court di seberang jalan sana. Mungkin hendak membeli sesuatu lainnya di toko seberangnya lagi dan akhirnya mereka terjebak hujan, ah! itu hanya asumsi saja.
Sekali lagi seng tempat kami berteduh berbunyi nyaring karena kembali diterjang angin kencang. Krompyang! Si anak buru-buru mendekap ibunya erat karena takut. Sementara si ibu berusaha menenangkan anaknya itu. Aku yang melihatnya hanya tertegun, melihat keakraban anak dan ibu itu membuat ingatanku menjadi liar. Kembali merindukan almarhum Ibu yang telah mendahuluiku dua tahun silam.
“Tenang ya Nak, ibu kan ada di samping,” bujuk ibu itu pada anaknya agar tidak takut lagi. Sementara si anak masih erat mendekap ibunya, terlihat dari raut wajah anak kecil itu begitu takut dengan hujan lebat ini.
“Err ... Ummm ... Ma ... atut Ma, Ical atut,” rengek anak kecil itu.
“Palingan hujannya bentar lagi berhenti kok Dik,” sapaku berusaha menghangatkan suasana.
Mendengar aku angkat suara, ibu yang sedari tadi tak memperdulikan kehadiranku kini mengulik pandang padaku. Matanya lekat seakan menelanjangi aku. Ia tatap diriku dengan tatapan ntah apa namanya, bingung, curiga, atau apalah. Ia melihatku dari atas hingga bawah, dari ujung rambut hingga kelingking kaki. Seolah-olah ia asing dengan sosok sepertiku, atau lebih tepatnya ... curiga. Segera ia tarik mundur selangkah anaknya, dan ia gendong di sisi kirinya.
Mungkin karena tampangku atau cara berpakaianku. Tapi hati ini menyergahnya, ‘Bukan itu!.’ Walau takut riya’ namun diri ini mesti mengakui jika dinilai dengan angka tampangku bisa memperoleh nilai delapan, kalaupun ingin menawar ya ... bolehlah, tujuh aku kasih. Soal penampilan?
Jika dilihat dari penampilan dan cara berpakaian, aku rasa tidak ada yang salah juga. Di luar aktivitas jualanku aku selalu mengenakan gamis selutut. Agar tidak terlihat lekuk tubuhku. Memangnya wanita saja yang harus mengenakan pakaian longgar, lelaki juga dong. Itu namanya emansipasi lelaki.
Beberapa saat ibu itu tak berkata apa-apa terhadapku, hanya pandangan selidik yang sedari tadi melayang ke hadapanku. Sudah pasti hal itu membuat aku sedikit risih, salah apa coba aku pada dia?. Padahal mengganggu tidak, menggoda juga tidak. Tapi perlakuan beliau seolah-olah mendeskriminasikan diriku, pandangannya itu loh.
“Ibu dari food court ya?” tanyaku kembali mengakrabkan.
Namun ibu itu tetap pada sikap semulanya. Menatapku dengan pandangan selidik.
“Maaf Bu, kalau boleh tahu kenapa ya, kok ibu mandangin saya terus,” kataku memberanikan diri untuk bertanya.
Meskipun sikapnya masih sama dalam melihatku, tapi kali ini walaupun dengan tergugup ibu itu berusaha bicara padaku.
“Mas ... Masnya ... Emm ... Mas itu orang sini ya?” tanya ibu itu terbata-bata.
“Iya Bu, memang ada apa,?” tanyaku lagi.
“Masnya ... Mas itu, em ... maaf Mas, Mas bukan anggota pengajian radikal yang di teve-teve kan.”
Sungguh pertanyaan ibu ini membuat aku kaget. Bagaimana tidak kaget, jika seseorang yang baru melihat kita saja sudah bisa salah menilai tentang kita. Dan itulah salah satu bukti jika kebanyakan orang di Indonesia melihat segala sesuatu dari covernya. Asal jeplak opini saja.
“Astaqfirullah Bu, ya bukan, saya ini baru dari Masjid ... sholat Isya tadi,” jawabku berusaha meyakinkan.
Mengenai diriku, keseharianku seperti apa yang terlihat. Ya seperti inilah. Gestur, perawakan, bahkan cara berpakaian tak pernah berubah. Aku berperawakan tinggi memang, tapi tidak jangkung juga. Berkulit sawo matang khas kulit Indonesia, malahan sedikit gelap karena sehari-hari di pasar yang pengap dan panas. Seperti muslim-muslim lainnya pula, aku berusaha memelihara jenggot sebagai bukti kecintaanku pada Rasul. Sunnah rasul. Begitu pula dengan pakaian yang aku kenakan, sebisa mungkin harus syar’i atau minimal mendekati syar’i kecuali keadaan khusus darurat yang mengharuskan memakai pakaian kurang bahan. Namanya lelaki ya berpeluh keringat saat bekerja, agar banyak fentilasinya, yang pentingkan masih menutupi aurat lelaki. Toh aurat lelaki sebatas pusar hingga lutut.
Oleh karena itu aku mengenakan baju gamis selutut, apalagi saat ini habis menunaikan kewajiban sholat. Celanaku juga, menggantung di atas mata kaki. Aku ingat larangan memakai celana yang menutupi seluruh kaki hingga menyeret ke tanah, Allah membencinya. Terkadang teman-teman yang belum memahami nilai bercelana seperti ini kerap mengejekku, katanya ‘Kebanjiran!.’
“He he he, bukan Bu, saya bukan kelompok Radikal,” jelasku lagi agar ibu itu yakin.
“Oh iya Mas, maaf ya, habis dandanan Mas ini loh seperti mereka yang Radikal,” pungkas ibu itu.
Dalam hatiku ingin teriak rasanya. Bagaimana mungkin berpakaian yang dianjurkan Rasullullah sendiri dianggap tabu oleh sebagian besar orang. Malahan pakaian yang memamerkan lekuk tubuh dan menggoda yang dikatakan pantas. Meskipun ingin mencak-mencak rasanya namun sebisa mungkin harus dapat kutahan, ‘sabar ... sabar ... sabar,’ perintah hati.
Namun yang membuat aku benar-benar tercekat membisu bukanlah apa yang dikatakan ibu barusan. Melainkan apa yang bakal terjadi selanjutnya.
“Mama ... mama, Om itu ciapa?” tanya anak kecil itu pada ibunya.
Aku melihat tingkah anak itu tersenyum sebab perawakannya lucu, gemesin. Ingin mencubit rasanya.
“Ical tanya langsung dong ama Om nya, kenalan gih,” perintah ibunya kepada anak kecil itu.
“Ogah ah!” tepis anak kecil itu.
“Kenapa?” Tanya Ibunya.
“Om itu Telolis, sepelti di Teve yang kita tonton Ma,” jawabnya polos.
“Astaqfirullah,” Istiqfarku karena kaget. Kali ini benar-benar nusuk hingga jantung.
Benar-benar menggemaskan. Tidak lagi ingin kucubit, tapi kali ini ingin kucakar. Bukan pada anak kecil itu, sebab dia masih lugu dan tidak tahu apa-apa. Tapi pada media dan segenap orang yang telah meracuni pikiran anak kecil ini dengan opini kejam seperti itu. Bayangkan anak kecil yang belum tahu apa-apa saja dalam benaknya telah tertanam prime berfikir jika seseorang berpenampilan islami adalah teroris. Kiranya mereka yang membenci Islam telah berhasil membuat konspirasi besar untuk menjatuhkan nama baik Islam di mata umatnya sendiri.
Sesampai dirumah,
Aku membaringkan tubuhku karena letih. Tak beberapa lama kemudian, Hapeku berdering. Sebuah pesan dari teman pengajian masuk di inboxku.
Sender : Ameer
‘Assalamualaikum Akh, Ana Cuma mau kabarin saja ke antum. Barusan teman kita Ilham diamankan kepolisian seusai Memberikan tausiyah di Masjid Al-Ikhlas. Dia dituduh kader ISIS hanya karena membawa Al-Quran di tas yang menempel sebuah atribut bertuliskan syahadat.’
Seperti teraduk isi perutku saat membaca pesan itu. Bukankah dunia ini semakin gila! Segila mereka yang menganggap Al-Quran lebih berbahaya dari Pistol Baretta milik mereka. Itu hanya Asma Allah, Firman Allah. Bagaimana bisa seseorang membawa Al-Quran dan atribut bertuliskan ‘Ashaduallaillahaillallah wa ashaduanna Muhammadarasullullah’ dikatakan teroris. Sebagai umat muslim panji syahadat harus ditegakkan, ironisnya kini umat islam sendiri yang phobia terhadap Ayat-ayat Allah. Sebenarnya ini ada apa?
Seketika aku ingin muntah saat memikirkan mereka yang membenci Islam sedang tertawa terbahak-bahak melihat kebodohan Umat Islam sendiri. Bukan mereka yang menghancurkan Islam, tapi kita sendiri.
Tomat!

Ko Jeena, 15/08-14

4 komentar:

  1. teletabis mengatakan...

    agen365 menyediakan game : sbobet, ibcbet, casino, togel dll
    ayo segera bergabung bersama kami di agen365*com
    pin bbm :2B389877

  2. Dave Thames mengatakan...

    Bosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
    hanya di D*EW*A*P*K / pin bb D87604A1
    dengan hanya minimal deposit 10.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
    dapatkan juga bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% :)

  3. Rai Vinsmoke mengatakan...

    ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat ayo segera bergabung dengan kami di f4n5p0k3r
    Promo Fans**poker saat ini :
    - Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
    - Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
    - Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis
    Ayo di tunggu apa lagi Segera bergabung ya, di tunggu lo ^.^

  4. sarah mengatakan...

    AYO Bergabung Bersama AJOQQ | Menawarkan Berbagai Jenis Permainan Menarik.
    1 ID untuk 8 Permainan Poker, Domino, Capsa Susun, BandarQ, AduQ, Bandar Poker, Sakong, Bandar66 ( NEW GAME!! )
    Dapatkan Berbagai Bonus Menarik..!!
    - Bonus Cashback 0.3%. Dibagikan Setiap hari SENIN
    - Bonus referral 20% SELAMANYA
    - Minimal Deposit dan Withdraw hanya 15 rb Proses Aman & cepat
    - 100% murni Player vs Player ( NO ROBOT )
    Pin BB: 58cd292c
    website : www.ajoqq.org

Posting Komentar