Kerjaku Halal Ayah

Ko Jeena
“Terimakasih Pak atas kesempatan yang bapak berikan untuk saya.”
Lelaki berpenampilan necis di depan Ito hanya tersenyum sambil mengangguk. Sementara Ito masih bahagia menyelami nikmat Allah siang ini, hidungnya kembang kempis karena senyumnya terlanjur melebar.

“Jadi, lusa kamu sudah bisa bekerja di sini Ito, selamat bergabung,” kata lelaki itu sembari menyalami Ito.
“Tentu Pak,” jawab Ito mantap.
Akhir dialog lima belas menit lalu yang masih berkelebat di pikiran Ito, dialog tentang masa depannya bersama direksi sebuah perusahaan retail terbesar di kota Jambi. Tentu ini adalah sebuah jawaban dari doanya dan harapan orang tuanya agar Ito dapat bekerja. Walaupun kenyataan tak persis sama dengan apa yang diharapkan, namun bagaimana jua dia tak dapat menepis dan mengingkari nikmat Allah yang satu ini.
Sudah hampir enam bulan Ito menganggur tak bekerja. Bukan karena dia malas untuk mencari kerja, hanya saja banyak faktor mempengaruhi. Dari diri sendiri, pergaulan, bahkan keinginan orang tua menjadi pertimbangan berarti. Jadi tak bisa asal menentukan, hitung hitungannya harus matang.
Meskipun sejujurnya, Ito pun mengakui jika untuk mencari pekerjaan layak di zaman sekarang ini sangat sulit. Layak dalam artian terpandang dan mapan segi penghasilan, ‘itu sudah cukup’ kata ayahnya. Dan untuk mendapatkannya butuh usaha keras serta kesabaran. Ikhtiar itu perlu, namun jika Allah telah menetapkan sesuatu di luar espektasi harapan kita, apakah kita mesti interupsi. Ikhlas dalam menjalani akhirnya menjadi kartu Truf untuk meyakinkan Allah tentang ketakwaan kita.
Begitu pula si Ito, enam bulan belakangan ini dia gencar dalam melamar kerja sana sini. Banyak perusahaan besar ia jajal dengan berbekal ijazah segarnya. Harus sesuai dengan bidang ilmu yang ia tekuni. Bahkan beberapa bulan lalu dia juga coba peruntungan test Pegawai Negeri Sipil namun kandas tak tercapai, alasannya klasik ‘Kurang sesajen.’ Baru beberapa hari belakangan ini ada sebuah panggilan kerja, tapi tak sesuai dengan bidang keilmuan yang ditekuni Ito. Panggilan interview pertama belum ia beri jawaban, katanya masih ingin dipikirkan dulu. Baru setelah dia yakini hatinya sendiri dalam sujud Qiyamul Lailnya, pada panggilan kedua ia terima pekerjaan itu.
Jam tangan telah menunjukan pukul 12. 45,
Seusai Ito menunaikan Ibadah Sholat Dzuhur, Ito melanjutkan untuk makan di warung langganannya di dekat terminal. Semasa kuliah dulu, dia dan teman-temannya kerap makan dan nongkrong di sana. Bukde Inah selaku penjual memang sudah akrab dengan Ito beserta gerombolannya. Karena begitu akrab dulu Ito sering berhutang dengan bukde Inah.
“Eh Ito, apa kabar?” Sapa bukde Inah sesaat Ito duduk dan meletakkan tas slempangnya di sebelah kiri dia duduk.
“Alhamdulillah Baik bukde, lah bukde sendiri?” Balik Ito menanyakan kabar pada bukde Inah.
“Baik juga toh, kamu kok baru nongol di warung bukde, berbulan-bulan ini kemana?” tanya bukde Inah.
“Mencari jati diriku bukde,” jawab Ito nyeleneh disertai tawa khasnya yang renyah.
Mendengar itu sontak bukde tertawa pula, tak pernah berubah pikirnya. Ito yang begitu periang tak sedikitpun berubah meski telah lulus kuliah. Masih saja sikap humorisnya ia tunjukan pada siapa saja, termasuk bukde.
“Kamu mau pesan apa Ito?”
“Seperti biasalah bukde, mie goreng.”
“Pakai telor?”
“Ndak usah bukde, mie gorengnya saja,” tegas Ito.
“Minumnya?”
“Air putih saja bukde,”
Bukde tersenyum dan segera membuatkan pesanan Ito.
...
Kembali, pikiran Ito melayang tatkala pandangannya menyapu pada serombongan orang lalu lalang di terminal. Ia memperhatikan dengan seksama terhadap mereka dan segala aktivitas serta bawaannya. ‘Manusia diciptakan satupun tak ada yang sama persis dengan lainnya, segala aktivitas dan permasalahan pun tak akan sama’ pikirnya kala itu.
Pandangannya terpaku pada sesosok bapak renta  sedang menarik gerobak yang isinya perkakas dari kayu. Sementara dari belakang mengekor seorang anak kecil berseragam sekolah dasar dengan membawa keresek biru yang di dalamnya terdapat tumpukan buku. Dari tampilan sepertinya dia adalah buruh angkut terminal, dan yang dibawa itu adalah barang-barang pelanggannya. Sementara anak kecil pengekor itu mungkin saja anaknya. ‘Itulah contoh kerasnya hidup’ hati Ito berontak kembali. Demi keluarga atau setidaknya anaknya dia bekerja keras membanting tulang memeras keringat demi mereka. Tentu saja di luaran sana pasti masih banyak orang-orang serupa bekerja keras demi sesuatu yang dianggap mereka mulia, menafkahi keluarga atau sebagainya.
Apa yang ia lihat, dia kaitkan dengan dirinya. Tentu hal ini bertolak belakang dengan apa yang dia alami. ‘Ito seorang sarjana muda anak pensiunan Panglima Bintang Tiga adalah seorang pengangguran!’ hardik hatinya sendiri. ‘Seorang yang memilih-milih dalam kerja! Seorang dengan gengsi tinggi! Seorang ingusan! Seorang! Anak manja!’ cercah hatinya kembali.
“Itu dulu!” teriak Ito membantah sang hati.
Mendengar itu sontak pengunjung lainnya kaget, terlebih bukde Inah. Kini semua mata tertuju pada Ito yang tanpa tedeng aling-aling teriak di warung.
“Ma ... maaf,” dengan grogi dan rasa malu Ito meminta maaf.
“Oalah cah bagus, kok siang-siang melamun toh, ini loh mie goreng pesanannya,” kata bukde Inah sambil meledek Ito.
“Terima kasih bukde,” tukas Ito.
(Tak berselang lama sesaat Ito menyantap Mie goreng pesanannya.)
Ardi datang, temannya ketika kuliah dulu. Bahkan mereka satu gerombolan saat nongkrong di luar jam kuliahan. Tak ada mata kuliah maka warung bukde jadi solusinya. Teman tongkrongan.
“Eit, Mas Bro! Apa kabar?” sapa Ardi seraya memukul pundak Ito saat hendak menelan mie gorengnya.
“Eh kamu Di! Ngagetin aja, Baik kok, kamu sendiri bagaimana nih kabarnya? Kamu lama ndak pernah kontak aku lagi,” kata Ito ramah.
“Tentunya baik Bro, ya maaf deh Bro, bulan-bulan kemarin aku sibuk banget.”
“Loh kamu Di, hadir juga toh, kok bisa barengan gini sama Ito,” timpal bukde Inah.
“Iya bukde, ini kebetulan saya sedang ada urusan di dekat sini, kabar bukde gimana nih?” kata Ardi.
“Ah kamu ini, sejak pakai baju itu kamu sombong ndak pernah main lagi ke warung bukde. Kabar bukde baik kok Di,” canda bukde Inah.
“Haduh bukde ini, bukannya sombong bukde, hanya saja ...”
Belum juga Ardi menyelesaikan perkataannya, bukde Inah memotongnya. “Gengsi gitu ya Di,” kembali ledek bukde Inah.
“Ah bukde su’udzon nih,” bantah Ardi sembari tertawa. Kamipun tertawa.
“Kamu mau pesan apa Di? Eh tapi karena kalian sudah kerja, jadinya ndak ada hutang-hutang lagi kayak dulu ya,” kata bukde Inah dengan humornya.
“Tenang saja bukde, saya pesan mie goreng juga sama seperti Ito bukde.”
“Pakai telor?”
“Pokoknya komplit” jawab Ardi.
Bukde Inah hanya mengagguk dan berlalu menuju dapur untuk menyiapkannya. Di depan kini hanya tinggal Ardi dan Ito yang masih menyantap mienya. Ketika pandangan Ito ia layangkan pada Ardi, ada sesuatu membuat silau matanya. Baju ardi. Ia ambil segelas air putih dan menenggaknya, kemudian beralih pada Ardi.
“Wah, pantas saja mataku seperti tercolok ilalang, ini toh penyebabnya,” ledek Ito sambil memonyongkan mulutnya menunjuk pada baju yang dikenakan Ardi.
“Oh, he he he, ini baru keluar beberapa hari lalu To, jadinya langsung tak pakai, gimana? Cakepkan kawanmu ini,” papar Ardi.
Mereka maksud adalah pakaian dinas Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan Ardi. Pada saat tes penerimaan Pegawai Negeri Sipil beberapa bulan lalu mereka bersama-sama dalam mengurus berkas hingga proses lamarannya. Namun sangat disayangkan Ito tak lulus dalam penerimaan itu.
“Aku ndak nyangka kamu lolos loh Di, soalnya sejak tes itu kita hilang kontak,” kata Ito kagum.
“Ya beginilah hidup Bro, kita tidak akan bertahan kalau tidak panjang akal.”
“Maksudmu?” tanya Ito heran.
“Sebenarnya waktu itu aku sama kayak kamu, ndak lulus juga, tapi orang tuaku kenal dengan seseorang di dalam, kamu tahukan maksudku. Untuk nominalnya itu rahasia, tapi setidaknya untuk pelicin aku harus merelakan tanah leluhurku digadai,” papar Ardi.
Mendengar itu, Ito kehilangan nafsu makannya lagi. Tak selera dia melihat mie goreng miliknya tadi. Seperti bercampur aduk isi dalam perut, mual. Miris tentunya. Bagaimana tidak, teman satu aktivis ketika kuliah dulu yang bersama-sama menyerukan anti korupsi, kini malah memilih masuk pegawai negeri dengan menyogok. Dia telah ikut andil dalam melestarikan budaya korupsi di negeri ini. Seperti kawannya itu kehilangan harga diri, itu yang Ito rasakan. Tapi setidaknya dia tak melakukan hal sama, dia masih memiliki prinsip mulia itu.
“Oh” komentar Ito singkat.
“Bro, aku tahu jika kamu menilai aku kini seperti apa, tapi kamu mesti tahu jika saat ini mencari kerja itu sulit. Dan ini adalah kesempatan dalam memperlayak diri, setidaknya dari segi penghasilan.”
“Harus seperti itukah?”
“Harus! Kita ini sekolah tinggi-tinggi hingga kuliah telah habis biaya mahal Bro, tidak sedikit, dan itu relevan jika kini kita menuntut lebih dalam segi pekerjaan. Apabila dalam menuntut baik-baik tak ada hasil, maka apa salahnya kita gunakan sedikit cara ... em, memaksa. Toh selain kita juga banyak Bro.”
Ito hanya mendengarkan,
“Bayangkan Bro, masak kamu mau sebagai lulusan universitas bergengsi di kota ini hanya sebagai karyawan. Setidaknya ini harga diri Bro!”
Sejurus, pikiran Ito kembali melayang menyibak setiap tirai ingatan menuju orang tuanya. Ayahnya yang seorang Pensiunan Panglima Bintang Tiga. Jika dihayati, pemikiran Ardi dan ayahnya sama persis. Begitu pula dengan cara pandang mereka pun serupa.
...
Dua malam sebelumnya, saat ketika Ito dan ayahnya beradu argumen di rumah.
Brak!!
Suara Gaduh hentakan meja terdengar hingga ke ruang keluarga, tempat di mana adik-adik Ito sedang menonton televisi.
“Ayah tidak setuju Ito! Camkan itu! Kalau kamu hanya sebagai jongos, percuma ayah menguliahkan kamu tinggi-tinggi. Setidaknya kamu harus berkelas!” tegas ayah Ito.
“Tapi semua itu butuh Proses ayah! Ito kira ayah paham itu,” sergah Ito.
“Jangan kamu bicara proses pada ayah! Kamu ingin menggurui ayah? Hah! Ayah sudah lama mengecap pahit getir kehidupan dan ayah paham apa itu proses.”
“Jika ayah paham, tolong pahami Ito juga, ini adalah hidup Ito Yah,” Ito berusaha meyakinkan ayahnya.
“Keputusanmu itu membuat ayah malu Ito! Apa kamu mau membuat pamor ayah jatuh di hadapan rekan-rekan sejawat ayah. Anak seorang Purnawirawan Bintang Tiga adalah seorang jongos!. Sejak awal ayah ingin kamu masuk kemiliteran pula seperti ayah, di sana karirmu bisa melejit sebab ayah masih terpandang di kalangan junior ayah.”
“Sejak awal pula Ito tidak ingin menjadi seorang tentara Yah, pahami Ito.”
“Lalu mau jadi apa kamu?!” bentak ayah Ito.
“Jadi diriku sendiri Yah, meskipun nantinya Ito menjadi seorang sopir taksi, tapi itulah pilihan Ito.”
“Hah! Bicara apa kamu! Sopir! Taksi! Tak akan ayah setujui! Seorang karyawan tata usaha saja ayah enggan melihatmu menjadi seperti itu, apalagi sopir taksi! Kamu ingin membunuh ayah?!”
Ito terdiam. Ayah itu pun terdiam, dengan nafas terengah-engah akibat amarah ia berusaha bangkit dan beranjak ke kamarnya. Sesekali sempoyongan karena faktor usia. Melihat itu Ito bergegas ingin memapah ayahnya, namun perbuatan Ito di tepis ayahnya.
“Jangan sentuh ayah!” tolak ayahnya.
Dengan tergopoh-gopoh ayahnya berjalan sendiri menuju kamarnya. Sementara Ito terpaku dalam kesedihan dan kebimbangan. Miris, namun tak dapat berbuat apapun.
...
Sisa mie goreng Ito sepertinya melunak dan tak mungkin enak dimakan lagi. Jadi dia sudahi makan siangnya kali ini di warung bukde Inah.
“Bro, aku makan duluan ya,” tegur Ardi membuyarkan lamunan Ito. Sesaat setelah mie pesanan dia datang.
“I ... iya Di, silahkan,” sahutnya.
“Em ... adakah yang kamu pikirkan Bro, kok kamu terlihat melamun?” tanya Ardi.
“Tidak ada Di, sungguh,” jwab Ito kalem.
Dalam hati, Ito masih bergejolak benang kusut. Semakin mengusut dan akhirnya memburam. Tentang bagaimana dia meyakinkan dan memberitahukan pada ayahnya jika hari ini dia diterima kerja di sebuah perusahaan besar. Hanya saja bukan sebagai manager atau setidaknya kepala divisi. Ito bekerja sebagai ‘Office Boy,’ dan Ito pun bersedia menjalaninya.


Jambi, 21 Agustus 2014

5 komentar:

  1. teletabis mengatakan...

    agen365 menyediakan game : sbobet, ibcbet, casino, togel dll
    ayo segera bergabung bersama kami di agen365*com
    pin bbm :2B389877

  2. Dave Thames mengatakan...

    Bosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
    hanya di D*EW*A*P*K / pin bb D87604A1
    dengan hanya minimal deposit 10.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
    dapatkan juga bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% :)

  3. Rai Vinsmoke mengatakan...

    ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat ayo segera bergabung dengan kami di f4n5p0k3r
    Promo Fans**poker saat ini :
    - Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
    - Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
    - Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis
    Ayo di tunggu apa lagi Segera bergabung ya, di tunggu lo ^.^

  4. veronica lim mengatakan...

    mari segera bergabung dengan kami.....
    di ajoqq^^com...
    segera di add black.berry pin 58CD292C.
    WwW-AJoQQ club-c0m | bonus rollingan 0,3% | bonus referral 20% | minimal deposit 15000

  5. veronica lim mengatakan...

    pin BB : 58ab14f5 , di add ya...
    dijamin seru dan menghasilkan | IONQQ.

Posting Komentar