Antologi Aqidah Dua

AQIDAHKU HARGA MATI

Rerumpun aksara beranak pinak penuhi kali terkotor sekalipun.
Berderet bak jamban lukiskan kotoran yang terbuang.
Mulutku mulutmu tak terjaga dengan serapahnya, lalu
Ikuti goyangan tangan menuliskan makian
Pedih ... membrutal sendiri menghardik kawan seperjuangan

Tolol dan bodoh jadi satu resensi terindah memancang akal pikiran
Dalam perang argumen, beda prinsip lumrah dilakukan
Aku ini; kau itu, dia dan merekapun berbeda
Melesatkan proyektil kata hingga tembus dada buncah berdarah
Sakitnya; pilu

Kau; aku, kita memang beda
Tak lantas saling terjang; saling gebuk, saling buang
Ludahi diri sendiri sebelum cicipi muncratan ludah untuk orang lain
Asin bukan ? seperti hatimu mengasin perlahan menghambar

Kau; aku jadikan perbedaan jadi satu kesamaan
Untuk indah membentuk harmoni dalam cinta cinta yang tersekat ego
Masing masing kita dalam hakekat prinsip itu sendiri
Saling tegakkan harga diri yang tinggi dan terlanjur pasang mahal

Sejenak, kau dan aku cobalah lumerkan dinding kokoh perbedaan
Seperti barat dan timur ketika bertemu robohkan tembok Berlin sebagai penghadang
Hingga perlahan kita bisa membungkuk, saling hargai
Jika perbedaan itu indah.

Apakah semua perbedaan ?
Tidak !! lesatku pada kaki tertumpu.

Masih ada satu hal yang tidak boleh kau samakan semua
Aqidah. aku pegang erat aqidahku, begitupun kau dan mereka
Jangan kau paksa aku dengan pola pikir majemukmu
Lihatlah mataku. lihat pula kepalan tinjuku
Aku pasang badan bila kau ganggu aqidahku.
Ingat itu !!

Jambi, 28 Februari 2014

BATAS USIA

Bahkan waktu tak jua sanggup mengeja usia
Apalagi kita, sayang
Detik berkurang satu persatu seperti dedaun jati berguguran
Mana dan kapan tak pantas kita andaikan
Ketika dia jatuh, itu tanda kehidupan telah terbataskan
Jangan kau sangkal, sayang
Biarkan pohon usia itu meranggas sendiri.

Lihatlah itu sayang,
Mata yang dulu indah dengan binarnya
Kini basah dengan tangisnya
Tangan ringkih itupun bergetar tatkala sentuh tubuh kita
Bibirnya mengatup,
Kerongkongannya tercekat.
Itu Ibu kita sayang,
Dia menangis.

Pedihkah yang kau rasa?
Sama, aku juga
Setiap tetes air mata itu laksana jarum
Begitu dalam, menghunjam luka kita
Teriris, sayang
Tapi itulah cinta kasih
Kau; aku paham
Cinta Ibu kepada kita

Ingin rasanya kau teriak!
Aku juga, sayang
Kita seperti mesiu, yang mengatup untuk meledak
Pada kata terbisukan
Aksara tak tergambarkan.

Ibu, hentikan! tangismu membuat luka kami
Hentikan Bu! kami mohon
Ikhlaskan kami,

Namun sungguh kata yang tak terlafadzkan
Sekali lagi, sayang.
Kita membisu.

Bukankah telinga kita juga masih mendengarnya sayang
Bisikan kawan kawan kita
Dahulu seperjuangan dengan kita
Berbicara tentang kita
Tentang kita, sayang

Padahal dia kemarin sehat, kata kawan kita sayang
Kami berbicara bersama, sahut satunya lagi
Ya! dia liqo semalam,
Sayang, masih muda sudah dipanggil
Kasihan Ibunya, sendiri
Sudahlah!
Ikhlaskan!

Kita mendengar, tapi tak terbantahkan
Kita melihat, tapi tak tersapakan
Sayang, kita kini berbeda dengan mereka

Takutkah engkau sayang,
Akan dosa yang telah kita lakukan
Atau amal kebajikan yang begitu sedikit kita kerjakan
Apakah Allah ridho, sayang
Apakah ridho?

Sudahlah,
Sekalipun tak akan dapat kita mengulangnya
Meskipun kita paksa dengan sejuta logika
Kita berbeda,
Kini kita tak sama

Persiapkan diri saja sayang
Akan pertanyaan Munkar Nakir kemudian
Dan akan segera kita pertanggungjawabkan
Segala perbuatan yang terlewatkan
Ikhlaskan kami
Ikhlaskan!

Jambi, 23 Juni 2014

CAHAYA KITA, SAYANG

Bangunlah sayang, hari telah bercahaya
Bukankah sinarnya memaksa,
Terobos pada kusam kaca yang jelas penuh debu
Bilik kamarmu ini, sayang
Serak dan penuh onak garis tak berujung
Masai seperti rambutmu, coretan-coretan sketsa; tadi malam
Tak silaukah matamu?

Beranjaklah meski sejengkal,
Pembaringan itu tak abadi, sungguh.
Tak malukah engkau pada kenari yang bernyanyi
Hinggap di atas dahan mahoni berarak

Bahkan gelap semalampun telah kebaskan selimutnya
Berdiri tegap pada pelataran asa dimulai
Menatap jauh, sayang
Tak lagi gelap namun cahaya

Bahagianya dia, sayang
Aku harap kaupun begitu
Melongokkan wajah bergaris getir itu
Teriak pada cahaya,
Akulah hati!
Akulah cinta!
Akulah harap!
Dan tak kalah pada usia.

Di balik punggungmu, aku akan tersenyum
Melihatmu meluap dengan tekad itu.
Kau; Aku,
Tekad itu kita, sayang

Maka bangunlah, sayang
Bangun! segera

Jika kau masih letih karena luka kemarin
Maka ambil sehatku,
Sekedar agar kau dapat berdiri
Melanjutkan asa tertunda
Melanjutkan; kita

Ingatlah, sayang
Cahaya bukan kegelapannya
Putih juga bukan hitamnya
Dua hal itu tak sama
Pasti berbeda
Maka ambil salah satu,

Tetap berada pada gelapmu
Atau raih tanganku,
Kita bersama menuju putih itu.

Cahaya di sana.

Jambi, 23 Juni 2014

KITA INI MUSYAFIR

Masihkah kita disini,
Saat bersama kita padu
Saling jejakkan kaki
Di atas tumpukan remah waktu
Dan kenikmatan yang mencandu

Hingga kini,

Kita masih di tempat ini.
Sejak kita mulai menghitung
Sewindu sedasa waktu berlalu
Dalam rasa sabar kian menakar
Pada ronta nalar
Yang telah lama memudar

Saat ini,

Masih inginkah kita disini.
Setelah perut penuh terisi
Setelah dahaga sudah terbasahi
Semenjak awal mula kita hampiri
Tempat indah berteduh ini.

Sudah !! hentikanlah,

Jangan kita makan dan minum lagi
Jangan ikuti gendam nafsumu.
Tak cukupkah segenggam kau makan
Masih kurangkah secawan kau minum
Kenikmatan memang melenakan
Hingga hamburkan tujuan kita

Ingatkah kita,

Sesungguhnya kita ini musafir
Pengembaralah kita
Berteduh bukan untuk selamanya
Ada tujuan mulia di ujung sana

Maka, bangkitkan diri kita
Kumpulkan bekal secukupnya
Lanjutkan perjalanan tertunda

Ah..!!
Jangan katakan..

Jika seceruk umur terlanjur melebur
Dalam genangan masa sia-sia
Membanjiri usia yang semakin senja
Di bawah persinggahan fana, terkesan nyata
Dengan bius kenikmatan meneluh asa
Membuat kita lupa
Akan tujuan akhir kita,

; Surga..

Jambi, 15 November 2013

MUHASABAH

Wahai jiwa-jiwa yang hampa
Sesungguhnya langit pun akan bersaksi
Jika engkau berada dalam kefasikan
Semakin jauh terbenam
Dalam gelimang dunia fatamorgana

Wahai saudaraku,
Kenapalah engkau bangga
Terhadap duniamu yang sementara

Sadarkah engkau,
Bagaimana jika semua hilang sekejap
Karena itu hanya titipan dariNya
Hartamu,
Kedudukanmu,
Bahkan usiamu

Masih adakah kesombonganmu
Bahkan engkau sendiri perlahan menggersang
Dalam iringan lagu duka
Oleh biola usang.

Masih bisakah engkau tertawa.
Jika waktumu telah berhenti
Tanpa sedikitpun engkau tahu
Dimanakah engkau bisa sembunyi.

Maka penyesalan yang engkau dapat
Engkau tak bisa kembali
Takkan pernah bisa.

Wahai engkau yang hampa.
Jadilah engkau jiwa-jiwa perindu
Yang merindukan akan kehadiran Dia.

Haus akan cumbuan rahmat dan hidayahnya.
Senantiasa dalam naunganNya.
Dalam dekap kasih sayangNya

Saudaraku,
Coba pikirkan sekali lagi,
Jika Dia berpaling darimu.
Kemanakah tempatmu akan kembali.

Jambi, 10 Februari 2013

SAJAK TERAKHIR

Sesungguhnya, kita ini siapa
Manusia bukan siapa-siapa
Hanya seonggok daging penuh dosa
Sama seperti makhluk lainnya

Namun kita terlalu bangga
Terhadap sesuatu yang bukan milik kita
Kita semua sombong
Dalam kenyataan berupa omong kosong

Tentang rupa kita
Tentang harta kita
Atau tentang jabatan kita

Sungguh Terlalu kecil hidup kita ini,
Kita hanya sendirian
Tidak ada teman menyertai
Yang tertawa bersama kita tadi bukanlah teman kita
Hanya ilusi semu dari khayalan semata

Maka,
Bukalah mata…

Dan ku ajak kita untuk melihat
Dunia nyata dari sesuatu yang berbeda
Jauh berbeda dari apa yang ada dalam benak kita
Perihal dunia ini
Perihal kehidupan ini

Dan kini, cobalah lihat dengan seksama
Bukankah apa yang kita lihat sebenarnya tidak ada
Gedung-gedung pertokoan di depanmu
Mobil mewah yang lewat disampingmu
Atau wajah cantik rupawan dalam pandanganmu
Perlahan semua menghilang
Terbang ke udara seperti pasir yang kita genggam

Ketika kita tersadar,
Hanya ada hamparan gurun pasir luas di kiri dan kanan kita
Padang gersang dan kering terbentang hingga ujung
penglihatan kita
Panas dan terik membakar kita
Kenyataannya kita semua tersesat
Di dunia ini kita semua jauh tersesat
Jauh terdampar
Hingga kita lupa arah jalan pulang
Semakin meringkuk, dalam keterpurukan di negeri
gersang

Dan merindukan suatu tempat untuk kembali
Rindu rumput hijau yang luas
padang ilalang basah membentang sepanjang hati
dan rindu untuk kembali ke rumah

rumah yang sesungguhnya
rumah untuk jiwa yang damai

Rumah illahi..
Biarkanlah berpasrah
Dalam menyambut suka cita kembali
Dimana hati belum ternodai
Meski dalam sajak terakhir,

kita ikhlas..
Untuk kembali.

Jambi, 05 Juni 2013

MASIH ADA TUHAN DI NEGERI ITU

Dengarkah malam ini.
Pada suara gemercik gerimis tak lerai
Saat jatuh, satu persatu. Begitu merdu
Luruh di atas rerumputan
Kemudian menetes perlahan
menyapa bumi.

Ataukah ada malam ini melihat
kepada sebaris lampion
berjajar indah bersama kelam
ketika menggema, takbir dan sholawat
oleh mereka mujahiddin muda.
Berarak serentak,
derap langkah kaki,
beriring serempak.

Dan biarkan menggarang..!!
Gaungan Sholawat badar dan nariyah
Dalam hentakan kompangan menyentak
Hingga cakar langit, menyerak
Dalam segenggam mega-meganya.

Biarkan barisan itu melaju.
Tanpa seorangpun menggangu
Terus memecah hening malam
Dan ruas-ruas itu melebur,
menjadi Satu teriakan..

“Allahhuakbar..!!”

Agar lidah mereka tercekat.
Saat mata genit mereka melihat,
Barisan itu menderu.

Biarkan barisan itu mambara..!!
Bersama nyala obor,
Merahkan negeri di depan.
Negeri yang di anggap hitam
Dan telah lama padam.

Maka,
Dalam barisan itu,
Bawakan sebuah pesan.
Jika Tuhan itu masih ada.
Dimanapun Ia akan ada.
Meski di negeri ini.
Negeri pelacur sekalipun.

Jambi, 04 November 2013

TAKDUR ALLAH

Teriknya panas siang hari
Dinginnya embun di pagi hari
Atau basah ketika hujan turun
Bahkan suara jangkrik di malam kelam
Adalah sedikit goresan takdir
Dalam cerita kehidupan.
Catatan kecil soal kita,
Tentang bahagia dan kesedihan
Pahit getir atau manisnya cinta
Tak terlepas dari kuasaMu
Semua berjalan atas kehendakMu
Derap langkahku,
Setiap helai nafasku,
Detak nadiku,
Kuserahkan padaMu
Maka,
Izinkanlah bertasbih setiap mili darahku
Mengagungkan namaMu
Laa illaha illallah……….
Tak ada tuhan selain Engkau ya Allah..
Meski tak cukup untuk bersyukur
Atas segala rahmatMu
Untukku dan semesta alam
Biarkanlah takdir mengambil perannya
Atas segala sesuatu yang Engkau tentukan.
Dan diriku ini,
Menyimpuhkan diri
Dengan hati terlanjur lusuh
Mencoba meneguhkan jiwa
Menerima setiap kodratMu
Dalam hakekat seorang manusia

Jambi, 10 Februari 2013