Makna Dakwah


 Ko Jeena
Apakah diri ini pantas? Pemikiran itu yang saat ini memenuhi benakku. Memenuhi setiap bejana alam sadar hingga perlahan membuncah keluar. Bersama rasa ketidakpantasan melengkapi batin ini, semakin jelas tergambar dalam lukisan utuh tentang “Malu.”

Ko Jeena
Lamat kulihat pada banyak puisi cinta yang tercipta untukmu, jujur aku bingung. Puisi-puisi itu jelas kutulis dengan menyematkan perasaanku terdalam. Hingga mengharum pada setiap aksara yang terbait untukmu. Tapi disitulah letak kekecewaanku. Entah kenapa saat ini aku merasa kecewa, dengan hal apapun yang kulakukan jika itu kuperuntukan untukmu.

Roda Kehidupan



Ko Jeena,
Hidup itu seperti sebuah roda. Benar, aku sama sekali tak menyangkalnya. Oleh karena itu sudah seharusnya kita selalu optimis terhadap apapun yang terjadi dalam hidup kita. Apakah itu masalah menghadang, rintangan menghalang, bahkan keindahan sekalipun harus kita tanggapi dengan hati yang tenang. Selama hati kita lurus, mengalir saja seperti air. Kita pasti akan terbawa kearah ngarai pada lembah yang indah, percayalah.

Ko Jeena
Saya ingat betul, ketika masih bekerja di tempat lama. Atasan saya selalu saja mengingatkan kepada saya akan pentingnya “keluar dari zona nyaman.” Tidak terlalu menggubris maksudnya kala itu, intinya dia ingin yang terbaik untuk seluruh karyawannya. Termasuk Saya. Meskipun dibenak masih saja sulit untuk hilangkan prasangka, jika itu hanya akal-akalan atasan agar kami (karyawannya) bisa memberikan Loyalitas tinggi dengan perbandingan kesejahteraan rendah. Ketika seorang karyawannya ingin atau akan dimutasikan ke bagian paling tidak menyenangkan dengan konsekuensi gaji sama seperti sebelumnya. Tapi itu hanya sebatas prasangka.
Preman Juga Punya Hati
Ko Jeena

Jam makan siang kali ini tak seperti biasanya. Entah kenapa hasrat untuk makan diluar mendadak keluar begitu saja. Padahal hari-hari lalu kebanyakan aku membawa bekal sendiri dari rumah. Alasannya pasti lebih hemat, praktis, dan otomatis agar gaji bulanan dapat ditabung untuk Ibadah lainnya (Walimah).

Ceritanya dimulai siang ini. Saat jam di monitor sudah menunjukan pukul 12.00. sesegera mungkin kuambil kunci motor yang sengaja ditaruh di dalam laci. Perut ini sudah tidak tahan, pikirku. Maklum, inilah penyakit si perut besar. Pembawaannya itu selalu lapar dan lapar. Padahal dipagi hari kerap kuganjal dengan satu piring full nasi goreng. Tapi masih saja begitu lapar ketika siang hari. Shaum? Ya itu alternatif yang baik untuk kesehatan tubuh, daripada harus takluk oleh nafsu makan yang begitu besar.

Tapi seperti inilah diri, dengan dalil “masih penyesuaian” aku hantam saja menikmati hidup tanpa puasa. Alhasil dengan kondisi keimanan yang masih rentan ini aku hanya sanggup puasa senin kamis saja. Itupun jika ingat. Karena pernah suatu hari, padahal aku niat puasa ketika malamnya, namun saat masuk waktu pagi hari aku hajar sarapan nasi goreng sepiring penuh. Ketika selesai di iringi tema sendawa, aku baru ingat. “oh iya Aku lupa. Aku puasa.” Keseringan seperti itu. Dalam hati memang pernah terniat untuk puasa Daud, namun sisi hati lain sepertinya lebih menang ketika manancapkan prime berfikir, “nanti sajalah.. Kau belum kuat, senin kamis saja dulu.” Dan akhirnya baru sebatas itulah kesanggupan.

Dengan keadaan perut yang berdesis karena lapar, kupaksakan kaki ini menghambur secepatnya keluar ruangan kerja. Mencari tempat makan terdekat, yang murah, tapi banyak (Aku banget). Akhirnya dapatlah tempat makan yang sesuai dengan budget kantong ini. Uni penjual Mie ayam dan bakso. Segera Aku pesan menu termurah diantara deretan daftar makanan di lembaran menu.

“Uni, Aku pesan Mie ayamnya ya.. Mie nya banyakin, pakai Bakso telornya satu. Minumnya air putih saja, yang hangat ya.” Pesanku pada pemilik warung itu.

Pastilah aku tak sembarangan pesan, sebelum memesan aku perhitungkan dulu Budget dengan harga yang bakal kubayar nantinya. Dengan menggunakan kemampuan akunting yang masih sangat fakir ilmu, akhirnya kudapati saldo akhir itu tinggal tujuh ratus rupiah. Setelah dipotong debet khusus biaya makan siang ini.

“kamu makannya mau murah, tapi banyak.. Dar.. dar..” kritik Uni padaku. Uni mengenalku, karena memang sesekali aku kerap makan ditempatnya. Mudah dikenali. Sebab orang seperti diriku langka. He he, aneh, tapi itu fakta.

Kulihat ke sekeliling. Tak tampak banyak pembeli siang ini. Beda dari biasanya. Pada hari-hari lalu biasanya warung Uni begitu penuh, hingga untuk mengambil Kecap dan saos pun harus berdesak-desakan. Setiap meja memang disediakan satu, namun karena ramai itu terkadang satu meja menumpuk semua cabai, saos, dan kecapnya disitu.

“Tumben sepi Ni?.” Tanyaku pada Uni yang sedari tadi asyik bersikutat dengan racikan mienya.

“Iya Dar.. maklum, tanggal tua. Banyak yang bawa bekal kali.” Jawab Uni singkat

Sementara aku hanya meng ‘O’ kan saja dan tetap pada sikap awal. Menunggu mie nya siap dan sesegera mungkin Aku santap.

Tak berselang lama dari itu. Datang seorang pembeli lainnya. Rambutnya gondrong, Brewok dan kumis berserakan di wajahnya, kaos oblong, dan celana jeans yang bolong di lututnya. Wah pasti preman pikirku. Ah tak masalahlah, toh tujuan dia ingin makan mungkin, dan aku juga makan. Kami tak saling kenal, jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi bagaimana kalau dia memalak? Bagaimana kalau dia todongkan pisau atau semacamnya kepadaku?. Sejenak kekhawatiran itu memang datang, tapi sesegera mungkin diusir keluar dari kepala. “Husdnuzon sudar” tenangku dalam hati.

Seketika dia duduk. Duduknya sih tidak jadi masalah, yang jadi masalah kenapa dia duduk di hadapanku. Padahal meja lainnya banyak kosong. “Wah benar nih, pasti dia ingin macam-macam” pikiran itu datang lagi. Tatapannya tajam menguliti. “kalau di enjleb pakai belati bahaya nih, Bisa kempes perut ini” Pikirku lagi.

Tak menunggu lama, Mie ayamku pun datang juga.

Sebaiknya aku harus beramah tamah terhadap dirinya. Menawarkan saja cukuplah, karena sopan santun ketika makan mengajarkan kita untuk menawarkan orang di hadapan kita untuk makan. Meski niatnya tidak untuk membelikan.

“Bang, makan bang?.” Ramah tamahku untuk cairkan suasana.

Awalnya aku berpikir ia akan menjawab, “silahkan” atau “tidak, terima kasih” atau sejenisnya yang maksudnya untuk menolak karena tidak enak atau sungkan. Tapi ternyata apa yang kudengar itu berbeda. Sekonyong-konyong dia mengiyakan ajakanku yang semula itu hanya keramah-tamahan basi saja.

“wah boleh nih..  Mak!, saya pesan Mie ayam tambah Bakso urat ya.. kuahnya yang banyak, mie nya juga banyakin.” Pintanya ke penjual.

Semprul!. Tak kuduga tak kusangka dia akan mengiyakannya. Bukan maksud hati pelit, tak mau berbagi atau kejamnya mengingkari pentingnya sedekah itu sendiri. Yang jadi masalah itu “Uangnya.” Darimana uangnya. Sudah aku katakan jika berdasarkan hitungan uangku hanya bisa membeli satu porsi saja, dan itu milikku. Lah kalau orang ini juga pesan, lalu bagaimana? Siapa yang bayar? Sudah pasti itu aku. Tapi bagaimana? Hutang?.

Dengan dongkolnya aku paksakan bibir ini melebar untuk tersenyum. Meski terkesan meringis getir karena menahan hasrat didiri ingin menjambak rambut gondrongnya, tapi masalah lain aku juga takut di enjleb pakai belati atau badik di celananya kalau dia bawa. Ini preman sepertinya benar-banar tidak waras, tidak tahu malu! Hardikku dalam hati.
“Ini bang Mie nya.” Kata Penjual itu seraya menyodorkan semangkok penuh Mie ayam spesial bakso urat kepada Lelaki urakan itu.

“Mantap ini Mak!.” Pekik lelaki itu sembari menyambar mangkok itu dan mengaduk-aduk isinya.

Tak tanggung-tanggung selesat proyektil ia sambar saos tomat, saos cabai, dan kecap di depanku. “Croott!, Crooooottt!, Cruooooooooottt!” dia tuangkan ketiga-tiganya memenuhi permukaan mangkok. Hingga tak terlihat lagi gelundungan bakso urat yang terselip di timbunan Mie tersebut. Mangkoknya terlihat penuh. Sepertinya belumlah cukup, hingga ia rebut pula cabai hijau yang berada di depan sebelah kanan. Satu sendok, dua sendok, dan pada sendok ketiga menggunung cabai itu memenuhi wajah sendok makan miliknya. “flop!, sleb!” kembali dia aduk adonan mie ayam itu, terkesan berat adukannya karena mangkok yang terlanjur penuh. Melihat itu tak serta merta selera makanku berada pada puncak hasratnya, yang ada malah gairah makan anjlok pada lantai sebawah-bawahnya basement. Akupun mulai eneg.

Tidak pakai doa dan basa-basi menawarkan kepada diriku, dia langsung saja main hajar. Di sruputnya kuah mie ayam yang telah mengental bercampur anekaragam saos. “Slurup! Sruuttt!” sambung menyambung pula Mie itu masuk kedalam mulutnya. Seakan ditarik oleh vacum cleaner, sekejap mie itu lenyap kedalam perutnya. Sementara diriku tak mampu untuk mengimbangi cara makannya. Padahal biasanya jika untuk adu cepat-cepatan makan aku bisa jadi juara mengalahkan sejawat kerja yang notabene nya kurus-kurus seperti cacing. Tapi untuk kali ini aku rasa aku mengalah.

Tak beberapa lama kemudian dia pun selesai makan mie miliknya, meninggalkan diriku yang overlap sejak tadi.

“Heeeeeeekkkk! Ah! Legaaa.”

Yang kurang ajarnya dia hentikan agenda makan itu pakai seremoni penutupan “Sendawa.” Besar sekali seperti Babi hutan yang ngos-ngosan saat berlari menghindari seringai mata para pemburu. Benar-benar jijik aku dibuatnya. Terpaksa saat itu juga kuhentikan acara makan siangku. Yang semula aku kira akan damai sentosa, eh ternyata malah dapat suasanan tak menyenangkan seperti ini.

“Tak dihabiskan Bro?!” tanyanya sembari menoleh kepadaku.

“Aku kenyang bang.” Jawabku

“Sayanglah itu. Nanti Ayam tetangga kau mati. Kalau tak kau habiskan mie nya.” Sambungnya kemudian

Pikirku dalam hati, apa hubungannya tidak habiskan makanan dengan kematian ayam tetangga. Ingin kubantah, tapi nantilah. Mengangguk-angguk saja dulu biar dia senang.

“Tak apa lah bang.”

“oh” responnya singkat sambil mencungkil-cungkil giginya dengan jari kelingking. Kemudian sisa makanan di gigi yang tercungkil ia plintir-plintir menggunakan jemarinya, dan “tuing!” ia selentik sejauh-jauhnya ke arah kirinya. Hingga sisa makanan itu menempel pada pakaian di bagian punggung si penjual. Aku yang melihatnya hanya diam saja.

Mendadak terkesiap diri ini. Oh iya bagaimana bayarnya? Bagaimana? Pikirku bingung dalam hati. Benar-benar semprul ini preman. Tak hilang akal sesegera ku telpon Teman kantor. Minta bantuan dia. Setidaknya uangnya masih cukup banyak daripada diriku, sehingga dia bisa susul aku disini dan meminjamkannya. Sambil merogoh Hape di saku celana aku beranjak sedikit menjauh membelakanginya, khawatir jika preman itu mendengar percakapanku.

“Terimakasih sob.” Kataku mengakhiri perbincangan di Hape dengan nada sedikit membisik.

Alhamdulillah. Dapat suntikan dana. Dari teman Sekantor, walau masih dibilang hutang juga, tapi tidak memalukan di depan orang menyebalkan di depan mata.

Ketika Aku membalikan badan.
Busyeeet!. Memang benar-benar kurang ajar nih Preman urakan. Sudah makan banyak langsung kabur!. Tidak tahu diri! bagaimana tidak keki diriku. Rasanya ingin aku hempaskan saja satu-satunya Hape butut milikku, tapi sayang tak ada gantinya. Dengan hati bergelora amarah kekesalan terhadap diri preman itu. Kuhampiri Uni penjual Mie ayam. Bukan mau menghajar, tapi mau tanya berapa bayaran.

“Uni, Berapa semuanya.” Tanyaku masih dengan kondisi hati berapi-api.

“Tidak usah lagi kau bayar Dar, sudah dibayar sama lelaki urakan itu, punyamu juga. Barusan saja. Kemudian dia pergi naik angkot yang dicegatnya di depan.” Papar Penjual singkat.

Jedeeerr! Glek!

Hati yang semula berapi-api kini sejurus membeku. Dingin sekali. Hingga rontokan setiap sel dalam pembuluh darah. Bagaimana bisa? Yang sejak tadi bersuudzon terhadap orang di depanku, malah dia yang membayarkan makan ini. Bagaimana bisa ? Terlalu cepat ambil kesimpulan dari apa yang terlihat saja. Bagaimana bisa? Kepongahanku kini menduri sendiri dalam jiwaku. Kepongahan itu seketika menjadi lelehan-lelehan hati, dalam bentuk Malu.

Jujur, Aku malu.

Mata sialan! Lagi-lagi dia menipu hatiku. Berkali-kali jua tak dapat aku belajar dari pengalaman lalu. Jika Mata itu penipu!. Seharusnya kau bisa melihat sejauh apa yang tak bisa dilihat olah mata. Yaitu dengan hati. Dan ini benar-benar terulang lagi. “Don’t See anything from the Cover” sayup mayup ku dengar itu membuncah kembali dalam benak berkarat. Aku sudah lupa!

Dengan banyak terhempas malu ku berusaha kejar lelaki Preman urakan itu. Berlari keluar. Ingin kudedah mulut ini agar meminta maaf kepadanya, atau setidaknya berterima kasih atas traktirannya. Namun tak kudapati dia. Dia telah jauh. Hanya bayangannya yang samar tertinggal di sepanjang jalan bersama knalpot angkot mengebul zaman.
Bersama bunyi adzan dzuhur. Aku seperti dihajar!. Malu bukan kepalang.

Jambi, 15 Maret 2014