Ko Jeena
Batasan adab dalam bergaul itu sudah diatur dalam Al-Quran. Seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Israa ayat 32 ‘Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.’
Seperti apa mendekati zina yang dimaksud(?) berkhalwat. Ketika seorang lelaki dan wanita yang bukan mahramnya berada dalam suatu tempat berduaan maka hal itu dapat mengundang pihak ketiga; syaitan. Sesungguhnya tipu daya syaitan itu begitu dahsyat. Jikapun keimanan kedua insan itu katakanlah baik, tapi apakah mereka mampu menahan dari segala fitnah yang akan terlontar nantinya. Begitu banyak resiko dari berkhalwat tentunya itu memaksa kita agar lebih waspada dalam bergaul. Islam memberikan batasan antara lelaki dan wanita dalam bergaul.
Batasan-batasan itulah yang seharusnya kita terapkan dalam proses pergaulan sehari-hari. Dimana ada hijjab yang senantiasa memberikan jarak antara lelaki dan wanita dalam berinteraksi.
Namun inilah hebatnya muda-mudi zaman sekarang. Dengan dalih mempererat hubungan (hubungan macam apa yang dimaksud) mereka bergaul dengan cara menabrak rambu-rambu syariat yang telah ditentukan. Seolah-olah tidak ada lagi beda antara wanita dan lelaki. Apakah ini yang dikatakan sebagai kebebasan hasil dari liberalisasi? Wahai saudara-saudariku. Islam telah memberikan peringatan keras kepada kalian semata-mata untuk memuliakan kalian.
Apakah kemuliaan itu mampu kalian gadaikan dengan berkhalwat dan pacaran. Apakah dampak baik dari berduaan(?) sama sekali tidak ada. Kecuali akan tumbuh benih-benih maksiat yang mulai bermekaran di dalam benak dan pikiran kita.
Jujur saja, apa yang anda pikirkan saat berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram anda? Tentu tanpa kalian jawab sekalipun kita bersama mampu menafsirkannya. Keinginan melakukan hal-hal negatif pasti secara lancar memenuhi semua pikiran kita. Hasil dari pikiran kotor itu apa, ‘jika ada kesempatan bisa jadi akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.’
Sekali lagi batasan dalam berinteraksi antara lawan jenis itu diperlukan. Ketika kita sudah terlalu nyaman dengan interaksi yang menabrak rambu-rambu syariat itu maka boleh dikata syaitan telah benar-benar menguasai kita. hanya dengan sedikit godaan saja, maka maksiat di depan mata. Naudzubillah mindzalik. Semoga bermanfaat. Waallahu a’lam bisshowab.

Jambi, 30/12-14
Ko Jeena
Jika saja masalah itu bisa diwakilkan, maka setiap orang pasti akan menganggap remeh semua masalah. Tidak perlu lagi ia ambil pusing dalam pemecahannya, sebab semua penyelesaian dapat terlimpahkan pada orang lain. Jujur saja, ketika setiap orang ditanya ‘apakah mereka mau menanggung sebuah masalah?’ pasti mereka menjawab hal serupa; tidak ingin ada masalah.
Tidak ada orang yang menginginkan masalah dalam hidupnya, tapi apakah benar hidup itu ada yang tanpa masalah? Selama kita hidup pasti akan berhadapan dengan masalah. Suka tidak suka kita tidak bisa mengelak. Pasti kita akan mendapat bagian milik kita karena itu sudah jatah kita.
Kodrat kita adalah manusia. Sudah sewajarnya jika manusia akan mendapatkan banyak tantangan hidup berupa masalah-masalah yang akan menghadang. Karena kita sebagai manusia adalah khalifah di muka bumi ini. Bagaimana pun bentuk masalah itu, baik besar maupun kecil itu semua tergantung bagaimana frame kita dalam menyikapi. Ketika kita menganggap masalah itu adalah sebuah rintangan, maka sekuat apapun tekad baja yang kita miliki lambat laun akan melemah seiring pengikisan pola pikir negatif itu. begitu juga sebaliknya, saat kita menganggap masalah itu adalah sebuah tantangan dan ujian, maka hati kita akan bertambah kokoh dalam menghadapinya. Seolah-olah kita siap! Meskipun kenyataan kita masihlah ringkih.
Sekali lagi tanamkan jika setiap masalah dalam hidup kita adalah sebuah Ujian. Ujian kelayakan untuk memantaskan diri. Itu artinya Allah masih sayang kepada kita, sebab Allah ingin membanggakan kita sebagai hambanya yang tabah dan ikhlas dalam menghadapi masalah. Bukan hambanya yang cengeng dan menyerah terhadap ujian tersebut. Tiada kata bersedih dalam menghadapi suatu ujian hidup. Tersenyumlah. Bahagia ketika Allah masih mempertimbangkan kita. Karena Allah masih menganggap kita ada.
Hikmah apa yang dapat kita petik(?) Tidak ada satu pun hidup seseorang yang dilalui tanpa ada masalah mengitari. Setiap individu pasti memiliki masalah sendiri-sendiri. Bisa jadi kita menganggap masalah kita yang paling besar, tapi sesungguhnya di luar sana masih ada orang lain yang memiliki masalah lebih besar dari kita. hanya saja mungkin bentuk dan kondisinya berbeda.
Ada orang yang sudah menginjak usia tua namun masih saja sulit mendapatkan jodoh. Ada permasalahan rezeki yang selalu tidak pernah cukup dalam memenuhi kebutuhan diri dan keluarga. Ada orang yang mengalami kegagalan dalam berumah-tangga (broken home). Semua masalah itu berbeda, tapi yang mesti kita yakini pasti ada solusi untuk pemecahannya. Tinggal kita yang ingin ikhtiar mengatasinya dan berserah diri pada Allah, atau malah lari sebagai pecundang.
Setiap apa yang kita lalui dalam hidup adalah guru terbaik yang pernah dimiliki. Baik itu suatu kebaikan maupun permasalahan hidup itu sendiri. Ketika seseorang melupakan masa lalunya, maka sesungguhnya ia telah kehilangan guru tersebut.
Boleh saja kita mengatakan dunia ini kejam. Memang seperti itulah adanya. Kita tidak bisa bermental lemah dalam menghadapi suatu masalah yang akhirnya malah berujung dengan kehancuran diri. Sudah seharusnya kita tegar! Ingat, di sisi kta ada Allah senantiasa mendampingi. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam Bishowab.
Jambi, 28/12-14



Ko Jeena
Setiap manusia memiliki fitrah yang sama, yakni menjadi baik. Sebenarnya tidak ada manusia jahat, hanya saja mungkin ada sebagian kecil dari kita sedang khilaf dan belum tersadar jika apa yang ia lakukan salah. Sudah menjadi keharusan bagi kita untuk menyadarkan atau paling tidak mengingatkannya. Kewajiban kita hanya sebatas mengingatkan, tidak ada sedikit pun kuasa kita membuat ia jadi baik. Hidayah datangnya dari Allah.
Beruntunglah bagi insan yang telah mencecap manisnya hidayah tersebut. Sudah tentu rugi jika ia melepaskan kembali. Karena sebaik-baiknya manusia di hadapan Allah adalah mereka yang dengan ikhlas bertobat kepadaNya.
Mendapatkan hidayah itu memang sulit. Diperlukan keikhlasan di dalamnya. Tidak semudah kita membalikkan telapak tangan, tetap harus kita temukan dahulu. Terlepas dari itu yang lebih sulit adalah mempertahankannya. Itu sebabnya dibutuhkan keistiqomahan dalam melaksanakan ketakwaan-ketakwaan guna menjaga agar ia tak sirna kembali.
Lalu bagaimana kita menjaganya agar ia senantiasa terjaga? Tentunya dengan upaya semaksimal mungkin untuk selalu dan selalu memperbaiki diri. Perbaiki kualitas hati. Sebab hati adalah cawan tempat menampung segala macam kebaikan dan cahaya Illahi.
Mungkin ada sebagian orang yang telah terlalu puas dengan perubahan dirinya menjadi baik. Ia menjadi enggan untuk terus menambah amalan-amalan yang dapat lebih mendekatkan ia kepada Dzat pemberi kebaikan yaitu Allah. Ia merasa ibadah-ibadah wajib yang ia lakukan telah maksimal sehingga ia meremehkan ibadah sunnah lainnya. Sebenarnya hal ini kuranglah tepat.
Cobalah kita lihat bagaimana kualitas ibadah Rasullullah SAW, seseorang yang telah dijamin masuk Surga sekalipun masih senantiasa memperbaiki diri. Ia selalu meningkatkan kualitas hati, dari kualitas kehidupan sehari-hari hingga kualitas ibadahnya terhadap Allah. Sudah seharusnya kita mencontoh beliau. Sebab suri tauladan sempurna adalah akhlak beliau. Sebagaimana saat sahabat bertanya kepada Aisyah perihal akhlak Nabi Muhammad, maka Aisyah menjawab Akhlak Nabi adalah Al-Quran.
Kini, coba pandang diri kita. bagaimana dengan kita(?) manusia yang pastinya teramat banyak bergelimang dosa. Jika diibaratkan sebuah ruang kosong, maka diri kita adalah ruang yang penuh dengan debu, serawang, sarang laba-laba, tempat serangga, dan tempat berbagai kotoran lainnya. Masihkan ada niatan kita untuk memperbaiki diri? Senantiasa meningkatkan kualitas diri? Atau jangan-jangan kita malah sombong dan riya terhadap apa yang kita miliki saat ini.
Ada satu ungkapan yang mungkin saja dapat menohok perasaan kita. “Ketika seorang pencuri berada di tengah-tengah para garong dan koruptor, maka pencuri itu merasa dirinya yang paling baik dan bersih. Padahal mereka sama-sama golongan pencuri.” Entah bagaimana denganmu, tapi jujur saya sendiri merasa amat teriris. Ketika kita dianalogikan sebagai seorang pencuri yang berada di lingkungan para garong, kita merasa kita adalah yang paling bersih. Tapi sedikitpun kita tidak sadar jika sejatinya kita dan mereka sama; masih satu kesatuan dalam kata ‘pencuri.’
Kita merasa hebat dengan kualitas ibadah kita saat ini. Merasa diri paling baik, merasa sudah pantas, hingga kita dengan mudah mangatakan orang lain salah, ibadah mereka keliru, bid’ah, dan semacamnya. Sebenarnya kita bukanlah apa-apa. Ilmu dan pemahaman tentang agama kita masihlah sangat jauh. Kita harus senantiasa memperbaikinya.
Terlepas dari itu masihlah Allah yang maha menilai. Sudah baikkah diri ini atau masih berada dalam posisi ‘sang pencuri’ atau bahkan mirisnya kita digolongkan pada golongan munafik. Hanya Allah yang tahu. Tiada orang yang pantas menilai, termasuk diri sendiri. Sebab apa yang terlihat baik tidak selamanya baik, begitu juga sebaliknya apa yang terlihat buruk tak selamanya buruk. Semoga bermanfaat. Waallahu a’lam bishowab.

Jbi, 25/12-14

Ko Jeena
‘Sudah sejauh mana ibadah anda kepada Allah?’ Sebuah pertanyaan sederhana namun memiliki banyak pemahaman saat kita menjawabnya.
Ibadah adalah bukti kecintaan kita kepada Allah. Ibadah adalah sebuah ketakwaan. Ketika kita mencintai sesuatu, maka kita akan loyalitas dalam membuktikannya. Analoginya seperti seorang profesional yang begitu mencintai suatu bidang pekerjaan, maka ia akan mencurahkan segala sesuatu untuk pekerjaan tersebut. Begitu juga saat kita berbicara tentang cinta kepada Allah, sudah pasti itu menyangkut ketaatan-ketaatan yang seharusnya kita utamakan hanya untuk mengharap ridho Allah. Hal ini erat kaitannya dengan ibadah itu sendiri.
Lalu, sudah sejauh mana ibadah kita?
Saat kita dihadapkan pada kata ibadah itu sendiri, apa yang terlintas dalam pikiran kita. Jujur saja, kebanyakan dari kita termasuk saya akan berpikir jika ibadah itu hanya sebatas sholat dan mengaji. Jadi saat kita ditanya, “ibadah kamu bagaimana?” maka frame berpikir kita akan menuju pada dua hal itu saja.
Sebenarnya pengertian ibadah itu luas. Segala sesuatu yang kita niatkan hanya untuk Allah maka akan bernilai ibadah. Inilah beruntungnya kita sebagai seorang muslim. Apa-apa yang kita lakukan pasti memiliki nilai ibadah. Dari tidur dan bangun kita, duduk dan berdiri kita, jalan dan berlari kita, diam dan bergerak, bekerja bahkan urusan kamar mandi sekalipun bernilai ibadah. Tentunya dengan niat yang tepat; semata-mata karena Allah. Belum lagi ibadah-ibadah lain yang memiliki nilai pahala besar di mata Allah.
Saat ada orang mengatakan urusan dunia itu berbeda dengan urusan akhirat, maka sudah pastilah pendapat ini salah. Dunia dan akhirat saling terkait. Ketika setiap apa yang kita lakukan di dunia adalah ibadah, maka pasti akan ada nilai lebih saat di akhirat kelak.
Dulu, ada yang pernah mengatakan kurang lebih seperti ini, “Agama itu tidak perlu, asalkan kita baik, maka akan masuk surga! Lihatlah pada kisah pelacur yang memberikan air pada seekor anjing sekarat. Ia masuk surga!” itu analoginya sama seperti saat kita mengikuti lomba lari, kita menang, tapi sayangnya kita tidak terdaftar dalam perlombaan itu. Jadi kemenangan kita sia-sia.
Memang benar yang menjadikan kita pantas di jannah-Nya kelak bukanlah karena amal kita, namun karena ridho Allah. lalu bagaimana Allah akan menilai pantas jika kita tidak membuktikan cinta kepada Allah dengan ibadah yang ikhlas kepadaNya. In syaa Allah dari sekian banyak ibadah berharaplah ada salah satu yang membuat Allah memantaskan kita.
Kesimpulannya, makna ibadah tidak hanya sekedar sholat dan mengaji saja. Namun apa-apa yang kita lakukan hanya untuk mengharap ridho Allah maka itu adalah ibadah. Meskipun demikian sholat tetaplah wajib, sebab itu yang membedakan kita yang beriman dengan mereka yang belum beriman. Keliru juga ketika kita mengejar ibadah lainnya tapi malah meninggalkan yang wajib. Semoga bermanfaat. Waallahu a’lam bishowab.
Jambi, 24/12-14



Ko Jeena
Entah kenapa malam ini jemari tergelitik untuk menulis tema ini. Walimah. Bukan berarti ini modus ya, bukan! Sama sekali bukan. Tapi ada sesuatu dalam benak saya yang seolah-olah berebut ingin keluar. Daripada ditahan dan akhirnya jadi migrain, maka lebih baik saya tuliskan saja. Semoga bermanfaat.
Saya bukan ingin membahas tentang hukum, kebaikan, dan manfaat dari sebuah pernikahan itu sendiri. Sebab dari banyak sumber yang merujuk pada Al-Qur’an dan hadits telah banyak membedahnya. Mungkin saja kalian lebih paham dari saya. Tentang pernikahan sendiri memiliki ruang lingkup yang begitu luas. Dari perencanaan, pemilihan, hingga hal-hal apa saja yang ada dan mesti dijalanani dalam proses sesudahnya. Hal itu untuk lebih jelasnya kita bisa membuka Fiqh Nikah.
Saya hanya ingin sedikit sharing dengan segala keterbatasan ilmu saya mengenai sesuatu di luar pernikahan itu sendiri, tapi sangat berpengaruh nantinya dalam proses menjalani kehidupan setelah penikahan.
Jujur, saya juga belum menikah. Tapi hal ini tak lantas menghalangi untuk berbagi sedikit artikel tentang pernikahan itu sendiri bukan. Analoginya, ketika kita ingin membahas tentang Narkoba dan Sex bebas tidak mesti kita harus terjerumus dahulu agar dapat menuliskan kebaikan tentangnya. Meskipun lebih baiknya jika mengalami sendiri. Ah! Sudahlah ... intinya tak harus menikah dulu untuk menulis tentang ini.
Bagi sahabat-sahabat yang telah, sedang, atau dalam masa persiapan diri untuk hal mulia satu ini, pernah tidak terlintas dalam pikiran kita tujuan dari kita menikah itu sendiri. ‘Apa sih tujuan kita menikah?’ mungkin pertanyaan itu terlihat sepele, tapi percayalah hal itu akan berpengaruh besar terhadap proses pernikahan nanti. Dari bagaimana kita mempersiapkan diri, pemilihan calon, hingga hal-hal yang mesti dikejar dan capai setelah pernikahan bersama pasangan kita nanti.
Contoh kasus lain begini, ketika dahulu kita memilih bidang jurusan pendidikan yang kita tekuni tentu pertanyaan serupa pula terlontar. Tidak mungkin seseorang ingin menjadi perawat tapi ia sekolah di jurusan tata boga. Tidak mungkin seseorang ingin menjadi arsitek tapi ia menuntut ilmu di jurusan seni. Seperti halnya saya dahulu. Saya ingin bekerja di luar negeri di bidang pariwisata atau setidaknya kapal pesiar mewah, oleh karena itu saya bersekolah di jurusan pariwisata dan memperdalam bahasa asing. Tapi ya itu dulu, sebelum Allah memberikan ganti lain yang lebih baik.
Begitu pula dengan pernikahan. Tentu kita tidak sembarang membentuk sebuah keluarga. Harus ada motif yang melatarbelakanginya. Tujuan kita harus jelas!
Allah akan memberikan segala sesuatu itu sesuai dengan niat kita. Sesuai dengan sabda Rasulullah, “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya”. Karena sejatinya pernikahan itu adalah ibadah, maka sudah seharusnya kita memperjelas niat kita menikah untuk apa.
Tujuan atau niat itu perlu. Dengan niat yang kokoh, maka akan terbentuk sebuah pernikahan kokoh pula. Selayaknya karang yang diterjang ombak. Tidak goyah sebab jelas.
Ada banyak orang yang menikah karena faktor ‘CINTA’. “Aku mencintaimu, maka aku harus menikah denganmu.” Sebenarnya tidak salah dengan hal ini, hanya saja kita mesti pahami jika cinta itu absurb; sesuatu yang tidak jelas. Bagi para penggiat seni rupa itu namanya abstrak. Lalu apakah cinta bisa menjamin sebuah pernikahan akan bahagia? Jawabannya belum tentu kawan. Coba kamu pikir secara logis, bisa tidak sesuatu yang abstrak memberikan satu gambaran pasti tentang hasilnya. Tidak! Coba lihat lukisan abstrak, maka setiap mata yang melihat akan berpresentatif hal berbeda. Lah wong namanya juga gak jelas. Abu-abu.
Banyak niat yang dapat memperkokoh suatu pernikahan. Ketika seseorang menikah hanya untuk mendapatkan kepuasan Sex semata, maka pastilah ia akan mencari kriteria pasangan yang dapat memenuhi itu. Ia pun akan mempersiapkan diri untuk itu. Ketika seseorang menikah untuk memperlebar sayap bisnisnya, maka ia akan mencari pasangan yang dapat menunjang bisnisnya, bisa jadi anak orang kaya atau pengusaha. Intinya bisnis yang kelak akan ia bina dengan sang pasangan harus berkembang. Itu ada juga. Ada pula seseorang yang menikah karena paras nan elok, jika hal ini masih nyerempet-nyerempet dengan cinta, tapi ujung-ujungnya tentang pemuasan biologis juga. Banyak niat lain yang dapat melatar belakangi sebuah pernikahan.
Ingatlah kawan. Niat itu yang menentukan pernikahan kita akan berjalan seperti apa. Masalah langgeng atau tidak biarlah itu tetap menjadi rahasia Allah. Ketika kita menikah karena harta, saat harta habis maka pernikahan akan goyah. Ketika pernikahan karena paran nan elok, ketika menjadi jelek dan keriput pernikahan dapat terancam bencana. Jika karena kepuasan biologis semata, ketika salah satu pasangan tak lagi mengimbangi bisa-bisa perselingkuhan di depan mata.
Lalu niat apa yang dapat membuat sebuah pernikahan itu kokoh. Niat karena Allah! Kawan. Dengan meniatkan karena Allah, maka tujuan pernikahan akan mudah ditapaki.
JIka kalian bertanya pada saya perihal tujuan pernikahan. Saya memiliki tujuan yang tentunya saya rahasiakan. Saya akan memilih pasangan dengan visi dan misi yang sama. Karena Allah. Dengan meniatkan pernikahan adalah ibadah karena Allah, maka proses setelah pernikahan nanti In syaa Allah akan mudah dijalani karena visi dan misi pasti serupa. Tidak jauh-jauh dari mengharapkan ridho Allah. Masalah perbedaan lain bisa mengimbangi. Karena yang terpenting adalah menetapkan tujuan dari pernikahan itu sendiri.
Kesimpulannya apa(?) Sebuah pernikahan tidak bisa hanya kita jalankan seperti air yang mengalir saja. Istilahnya ikut arus. Hal itu malah akan berpotensi menenggelamkan kapal mahligai pernikahan itu sendiri. Sejak awal, sebelum proses pernikahan harus ditentukan dulu niat yang lurus dan tujuan menikah itu untuk apa. Hal itu dapat kita jadikan sebagai rujukan dalam memilih kriteria pasangan nantinya. Agar pernikahan itu benar-benar sejalan dan mempermudah dalam upaya mengharap ridho Allah.
Sebuah pernikahan pasti akan selalu ada badai menerjang. Dengan visi misi kokoh akan menguatkan biduk pernikahan itu di tengah gelombang pasang.
Waallahu’alam


Jambi, 13/12-14

Ko Jeena
Hidup rentan kaitannya dengan masalah. Sebab hakekat hidup itu sendiri adalah masalah. Ketika Allah masih memberikan nikmat umur dan nyawa kepada kita, maka setiap saat itulah masalah akan silih berganti menguji kita. Allah ingin menempa kita dengan permasalahan hidup yang pelik. Itu bukti rasa sayang Allah kepada kita. Ia ingin memamerkan kita kepada para Malaikat yang bertaqwa kepadanya, “Ini loh hambaku yang mampu bertahan atas segala ujian yang datang kepadanya.”
Sejatinya ketika kita memiliki masalah maka itu adalah sarana kita untuk membuktikan diri. Buktikan kualitas diri. Semakin kita bertaqwa dan beriman maka ujian itu akan semakin ganas menerjang. Lihatlah contohnya para rasul dan orang-orang sholeh sebelum kita. Ujian yang datang kepada mereka bukan ecek-ecek. Begitu besar! Bahkan kita akan sulit membayangkan betapa hebat kesabaran dan keikhlasan yang mereka miliki untuk menghadapinya.
Kehidupan itu tidak ada yang mulus kawan, sebagaimana jalan berbatu dengan segala halang rintang. Ketika kita merasa hidup tak ada masalah maka sepatutnya kita pertanyakan kepada Allah. Masih sayangkah Allah kepada kita(?) jika Allah sayang, tentunya ia akan terus menguji kadar keimanan. Sehingga diri ini pantas di mata Allah.
Jujur, sebelumnya saya merasa ujian yang menimpa saya dan keluarga adalah ujian terberat. Bahkan saya merasa orang lain mungkin tidak mengalaminya. Tapi sekali lagi saya salah. Ujian yang datang kepada saya bukanlah apa-apa. Banyak di luar sana ujian yang lebih berat lagi walaupun dalam bentuk berbeda.
Masalah itu tidak akan pernah habis. Hilang satu maka akan menyusul yang lain. Ketika tidak ada masalah mungkin justru kita yang akan mencari masalah. Itu sudah kodrat kehidupan.
Lalu bagaimana saat kita melihat terhadap kehidupan mereka yang memusuhi Agama Allah atau setidaknya yang membangkang hukum Allah. Terkadang kita iri dengan kehidupan mereka yang lancar-lancar saja. Setiap keinginan mereka terpenuhi. Seolah-olah dunia ini milik mereka. Qona’ah kawan. Ada kalanya kita melihat ke bawah sejenak. Di sana akan ada banyak alasan kita untuk bersyukur. Boleh jadi mereka dapat melakukan apa saja di dunia ini, sebab Allah sudah mempersiapkan akhirat untuk orang-orang yang beriman dan bertaqwa.
Keunggulan kita atas mereka yaitu rasa sayang Allah terhadap hati ini. Allah selalu ingin menempa hamba-hambanya yang bertaqwa agar mereka memiliki kedudukan mulia di sisiNya.
Pribadi ini harus menjadi pribadi yang kokoh. Semakin tua dunia akan semakin besar tantangan yang menghadang. Ketika keimanan goyah maka diri ibarat kapal kayu yang bolong sana-sini, kapan saja akan mudah tenggelam dihempas gelombang pasang.
Kesimpulannya, hidup adalah cobaan. Ketika diri ini merasa menjadi orang dengan masalah terbesar, La tahzan! Jangan bersedih hati. Itu semata-mata ujian untuk kita agar kita menjadi pribadi yang lebih berkelas di mata Allah.


Jambi, 13/12-14
Ko Jeena
Ketika Allah SWT menyebutkan perihal orang-orang munafik di dalam Al-Qur’an. Saat mereka diajak berperang bersama Rasulullah, tapi sama sekali Allah tidak menginginkan keberangkatan mereka. Maka Allah menjadikan hati mereka berat untuk melakukannya. Dan Allah mengatakan “Duduklah kamu bersama orang-orang yang duduk.”
Hal ini termakhtub dalam surat At-tawba ayat 96.
Dan apabila diturunkan suatu surat (yang memerintahkan kepada orang munafik itu): "Berimanlah kamu kepada Allah dan berjihadlah beserta Rasul-Nya", niscaya orang-orang yang sanggup di antara mereka meminta izin kepadamu (untuk tidak berjihad) dan mereka berkata: "Biarkanlah kami berada bersama orang-orang yang duduk".
Begitu Allah menjadikan hati mereka berat untuk berjihad membela agamanya, maka sungguh saat itu mereka benar-benar mati dalam keadaan fasik. Sedikitpun Allah tidak menginginkan mereka untuk kembali.
“Maka jika Allah mengembalikanmu kepada suatu golongan dari mereka, kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), maka Katakanlah: "Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. Karena itu duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut berperang.” Surat At-tawba ayat 93.
Potongan ayat di atas sudah sepatutnya menjadi renungan untuk kita.
Ketika Allah menjadikan hati kita berat untuk melakukan suatu kebaikan, maka sudah sepatutnya kita mawas diri terhadap bibit-bibit kemunafikan yang mulai tumbuh dalam hati. Sebab hanya orang-orang munafik yang merasa berat untuk mengamalkan ketaatan demi ketaatan. Seperti contoh ayat di atas, saat ketika Allah menjadikan hati mereka berat untuk melakukan ketaatan kepada sang Khalik berupa jihad fisabilillah.
Lalu bagaimanakah dengan kita?
Mari kita bercermin pada diri sendiri. Bagaimana reaksi kita saat mendengar panggilan sholat berjamaah. Begitu antusias kah kita(?) atau dengan sengaja kita memperlambat hingga pengerjaannya menjadi Masbuq. Bahkan ironisnya kita dengan santai meninggalkannya. Bagaimana ketika ada ajakan-ajakan kebaikan lainnya, kita rengkuh dengan tangan terbuka atau malah menyibukan diri untuk menghindari. Tak ada yang tahu selain diri kita dan Allah. Boleh jadi kita tampak seolah-olah baik di mata orang lain, tapi bagaimana bagi pandangan Allah? Allah yang maha mengetahui tentang segala kemunafikan dalam hati ini.
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” An-nissa ayat 142
Allah menandai orang-orang munafik dengan beratnya mengerjakan sholat berjamaah, dan yang paling berat adalah sholat Isya’ dan Shubuh.
Sudahkah kita bermuhasabah diri? Apakah selama ini kita merasa berat untuk melakukan ketaatan demi ketaatan. Apakah selama ini kita malas untuk melakukan ketaqwaan. Jika iya, maka sudah seharusnya kita khawatir terhadap diri pribadi. Jangan-jangan kita termasuk ke dalam golongan yang Allah tidak suka kita untuk melakukan ketaqwaan kepadaNya.
Waallahua’lam.
Jambi, 11/12-14


Keyboard Warrior

Ko Jeena
Beberapa hari ini saya cuti dari dunia per-maya-an. Dari beberapa jejaring sosial, blog, dan forum lainnya akan sulit menemukan kehadiran saya. Padahal dari dulu saya adalah tipikal orang penggiat selancar maya. Bersosialisasi dengan sahabat-sahabat astral yang notabenenya baik semua. Setidaknya posting tulisan yang mungkin sedikit bermanfaat untuk orang gila. Namun beberapa hari ini saya lebih memilih cuti. Hal ini bukan tanpa alasan, pasti ada yang melatarbelakangi. Jujur saya katakan, ini semua gara-gara Mas Trojan yang menghapus komponen penting dalam jaringan. Akses internet saya mati.
‘Jadikan dunia maya sebagai ladang ibadah dan dakwah!’ doktrin itu masih terngiang dalam telinga. Bagaimana pun juga sebagai manusia berakal sudah menjadi keharusan bagi kita menjadikan segala sesuatu itu bermanfaat. Tidak sekedar sebagai sarana hura-hura dan browsing sesuatu yang tak berguna.
Asas itu yang ingin saya terapkan. Meski dalam kenyataan banyak pula waktu terbuang sia-sia.
Untuk menyikapi hal itu, kembali pada diri masing-masing. Meskipun menebar kebaikan, tapi kita juga tidak boleh melupakan kehidupan nyata, sebab di sana medan dakwah sesungguhnya. Jangan karena ingin menebar kabaikan di dunia maya kita melupakan kewajiban di dunia nyata.
Coba renungkan sedikit. Seberapa sering kita memilih setia pada gadget ketimbang membuka selembar mushaf. Seberapa sering kita satroni dunia maya dengan melupakan murajaah hafalan di dunia nyata. Sudah berlangsung berapa lama kita aktif di dunia maya tanpa sedikitpun menjalin silaturahim pada sahabat dan tetangga. Setidaknya semua harus balance, antara menebar kebaikan di kedua alam dunia itu mempunyai porsi ideal (ideal tak berarti sama). Ingat satu hal, kewajiban kita di dunia nyata itu lebih besar ketimbang di dunia maya.
Itu nasehat untuk saya pribadi sih. Sebagai respon dari kegalauan saya akibat internet mati.
Kenyataannya, awal-awal cuti dari dunia maya itu sama saja beratnya dengan orang yang ingin berhenti merokok setelah ia kecanduan selama bertahun-tahun. Ini serius. Ibarat ketika si pecandu rokok memutuskan berhenti merokok namun ia masih saja berusaha untuk memiliki rokok. Begitu juga pecandu jejaring sosial seperti saya, meskipun internet mati saya tetap mencari cara untuk dapat kembali tersambung di dunia maya. Salah satu caranya meminjam komputer teman di kantor.
Untungnya saya bukan seorang pecandu akut yang sedikit-sedikit posting status nggak jelas. Seolah dunia bagi pecandu tipe ini hanyalah dumay saja. Biasanya bagi pecandu seperti ini mereka berfikir dapat lari dari kenyataan kejamnya dunia nyata. Ini bukan kata saya, tapi kata pakar psikolog yang artikelnya saya baca di dumay juga.
Untuk menyikapi hal ini, sudah saatnya kita kembali bermuhasabah diri. Pilih bagi pribadi mana yang lebih bermanfaat untuk di jalani. Atau baiknya, selesaikan dulu kewajiban dunia nyata baru kemudian berselancar di dunia maya. Tapi mesti diingat, tetap dalam asas ‘manfaat.’
Ini artikel untuk saya pribadi ketika saya memutuskan untuk merubah kebiasaan dalam berdunia maya. Mesti kalian tahu jika saya sudah berubah; nggak seperti dulu lagi. Garis bawahi itu, ‘Sudah berubah!’ sejak beberapa menit lalu.

Jambi, 09/12-14

Cinta Tertinggi

Ko Jeena
“Sayangku, izinkan aku menggapai cinta tertinggi.”
Saya membayangkan, kalimat semacam itulah yang diucapkan Hanzhalah bin Abu Amir saat meninggalkan istri di malam pertama untuk menggapai cintanya kepada Allah.
Siapa yang tidak mengenal Hanzhalah(?) sang pengantin langit yang menemui syahidnya di perang uhud dalam keadaan junub. Malaikatlah yang kemudian memandikannya dan mensucikannya dari hadats besar, hingga ia mendapat julukan ‘Ghoisulmalaikat’ (orang yang dimandikan para malaikat). Sebuah penghormatan yang hanya diperoleh oleh sosok yang menggapai cinta tertinggi.
Saat itu, Hanzhalah baru saja melangsungkan pernikahan. Tentu saja manisnya malam pertama begitu lekat menyeruak dalam haluan cinta kasih. Ketika ia sedang asyik memadu kasih bersama istri tercintanya, dari jauh kumandang genderang perang bertalu-talu. Panggilan jihad fisabillah seakan irama surga yang dinanti-nanti. Segera ia lepaskan pelukan sang istri kemudian bangkit menyandang peralatan perang yang telah ia siapkan.
Tak beberapa lama pasukan muslim telah berkumpul termasuk Hanzhalah. Mereka segera bergegas menuju bukit uhud sebagai medan pertempuran.
Di gurun pasir yang kering dan tandus itu Hanzhalah mencabut pedangnya lalu berkelebat mencari mangsa. Dengan gagah berani ia terobos pasukan musuh, yang jumlah mereka lebih banyak dari pasukan kaum muslimin. Satu persatu tubuh orang Quraisy terluka bersimbah darah dan juga tewas berkalang tanah terkena sabetan pedang Hanzhalah.
Kemahirannya dalam bertempur terbukti dalam perang uhud ini. Hanzhalah begitu garang tatkala menerobos barikade musuh hingga berhadapan dengan salah satu tokoh Quraisy Abu Sufyan Shahkr bin Harb. Secara jantan ia hadapi Abu Sufyan. Hampir saja ia membunuhnya andaikan Allah tidak menganugerahkan Syahid kepada Hanzhalah. Telah dikalahkannya Abu Sufyan ketika Hanzhalah memberangusnya hingga ia tersudut. Namun secara tiba-tiba Syaddad bin Al-Aswad melihat pertempuran antara kedua ksatria itu. Ia membabat Hanzhalah dari belakang hingga Hanzhalah syahid seketika.
Perang Uhud memang mengakibatkan kerugian besar bagi umat islam. Salah satunya adalah gugurnya Hamzah bin Abu Mutholib, pelindung Nabi saw dan pembela islam yang gigih. Termasuk Hanzhalah dan para sahabat yang lainnya.
Kisah Hanzhalah adalah sekelumit kisah dari banyaknya kisah cinta tertinggi. Jauh dari cinta naif Romeo Juliet, ini adalah kisah cinta antara manusia dan sang khalik.
Begitu banyak manusia yang mengaku cinta terhadap Allah namun sedikitpun tak pernah melakukan pengorbanan terhadap Allah (Ini sindiran untuk saya pribadi sih ... kalau yang baca juga tersindir juga nggak apa-apa). Jangan dikata pengorbanan hingga syahid ketika sedang malam pertama dengan istri tercinta, untuk bangun shubuh dan puasa sunnah saja rasanya begitu berat. Seolah untuk berbakti kepada Allah sangatlah berat jika diandingkan melepas kenikmatan-kenikmatan dunia.
Sudah seharusnya kita pertanyakan lagi hakekat diri ini. Bagaimanakah totalitas kita untuk bertaqwa kepada Allah. Jangan-jangan diri kita ini termasuk orang-orang yang hatinya diberatkan oleh Allah saat terdengar seruan untuk bertaqwa kepada-Nya.
Waalahu’alam,

Jambi, 10/12-14