Kembalikan Aku

Kembalikan Aku
Ko Jeena
Udara kian memanas. Terasa pengap, apalagi di antara kurumunan jutaan orang berbaris; berdesak-desakan. Lengkap sudah, dengan peluh dan keringat busuk mencemarkan udara yang kuhirup. ‘Entah kenapa meraka bisa tahan’ pikirku, padahal aku sendiri ingin muntah dibuatnya.
Aqidahmu Kupertanyakan
Ko Jeena
Sejak beberapa hari ini Bang Kho Zin terlihat begitu mendung. Seperti ia telah kehilangan pesona yang biasa terpancar dari wajahnya. Bagaimana tidak, dirinya yang setiap hari memiliki kepribadian periang dan gemar tersenyum kini seolah kehilangan jati dirinya. Kemana dirinya yang lalu?. Begitu kontras, saat ini dirinya lebih sering termenung dan menyendiri. Melihat kondisi itu pasti membuat setiap orang yang mengenalnya khawatir, tidak terkecuali diriku sebagai adiknya tak kuasa melihat ia selalu saja bermuram durja. ‘Ini pasti ada sesuatu’ pikirku.
Ahad sore yang begitu cerah, tak seperti biasa aku melihatnya sedang terbengong di balik jamban pinggir kali. Matanya kosong memandang lagit biru di kejauhan. Seperti ada sesuatu yang begitu dia harapkan, namun raut lesu itu menandakan ketidakmampuan ia memiliki harapan itu.
‘Pung ... pung ... pung ... Plung!’
Air kali nan kotor itu berkecipak, sesaat setelah Bang Kho (panggilanku padanya) melemparkan sebuah batu pipih mendatar. Beberapa kali membuat pantulan pada permukaan air sebelum batu itu tenggelam.
“Assalamualaikum Bang,” sapaku pada Bang Kho sembari mendekat dan duduk di sisi kirinya.
Sementara Bang Kho yang masih bergumul dengan lamunannya tak membalas salamku. Hingga setelah aku menyikut dirinya dan ia tersentak kaget, baru ia membalasnya.
“Eh Jeena, Wa’alaikum salam,” sahutnya dengan mimik wajah kaget.
Aku melihatnya hanya tersenyum simpul, tatkala aku telusuri jua ujung arah pandangnya. Langit nun jauh di sana. Tak ada apa-apa, selain seonggok awan yang berarak ke tenggara.
“Melamun Bang?” tanyaku.
“Idih ... siapa bilang, dalam kamus abang ndak ada istilah melamun,” sanggahnya dengan mantap.
Lamat kutatap dirinya, aku tahu jika dia menyembunyikan sesuatu. Itu adalah penyangkalan terburuk.
“Jadi, menghitung domba yang melompat?” tanyaku kembali.
“Di langit tidak ada domba Jeena, yang ada hanya putih awan.”
“Anggap saja itu bulu domba, sama saja kan,” timpalku dengan canda.
Samar-samar kulihat Bang Kho menyunggingkan bibirnya, walau itu tak bisa juga dikatakan senyum. Tapi setidaknya lebih enakan jika dibandingkan dengan dia yang tadi.
“Kenapa kamu kemari? Ada sesuatu kah yang ingin kamu ceritakan pada abang?” kini kembali Bang Kho yang bertanya padaku.
“Tidak ada, aku hanya ingin menemani abang. Di sini, di dekat jamban.”
“Beuh! Terkadang jamban adalah tempat yang paling menenangkan saat kita butuh sendiri. Dunia tahu itu,” kata Bang Kho berfilosofi.
Aku yang sejak dulu selalu mengagumi setiap kata keluar dari mulut Bang Kho seakan terus terperanjat saat Bang Kho berbicara. Seakan semua kata keluar itu ibarat madu, meskipun membahas masalah jamban sekalipun. Ini serius. Apalagi ketika Bang Kho bertausiyah, walaupun aku sedang sakit sekalipun tak akan pernah kutinggalkan sekali saja pengajian bersama beliau.
Tapi kali ini seakan tersirat sesuatu yang lain dari kata madunya itu. Sangat berbeda dengan makna harfiah tentang kata-kata motivasi itu. Dan sejujurnya aku paham dia.
“Bukankah abang seharusnya mengisi Halaqoh? Mas Richie dan lainnya telah menanti abang di musholla.”
“Itu tujuanmu kemari?”
“Salah satunya iya, Amanah dari Umi Neny begitu. Soalnya Murrabbi mereka sedang ada kajian ke luar kota, makanya abang yang isi,” paparku pada Bang Kho.
“Oh,” reaksi Bang Kho datar.
Sudah mulai tergambar jelas tentang dugaan awalku pada beliau. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan dariku. Tak biasanya Bang Kho seperti itu.
“Abang sedang ada masalah?” tanyaku coba mengulitinya lebih dalam.
Biasanya aku yang kerap curhat padanya. Namun apa salahnya jika kali ini kebalikan, Murrabbi curhat pada Mutarabbi. Walaupun aku tahu jika pastinya Bang Kho pula memiliki Murrabbi setingkat di atasnya, Ustadz-nya si Udtadz.
“Tidak kok.”
“Jujur?”
“Sedikit,” jawab Bang Kho akhirnya sedikit ada celah untuk terbuka.
Kembali pelangi tergambar di senyumku. Ini adalah pertanda keberhasilan. Untuk saat ini, kata ‘sedikit’ itu seperti sebuah kata yang paling ingin kudengarkan.
“Ceritalah sedikit pada juniormu ini Bang,” pancingku.
“Ini masalah orang dewasa,” katanya lirih.
“Lah memangnya aku tidak dewasa bagaimana Bang, akhir tahun ini aku kawin loh Bang,” kataku meyakinkan dia.
“Menikah maksudmu?” timpalnya.
“Seperti itulah, memangnya beda ya.”
“Tuh kan kamu belum dewasa, kawin itu sesudah nikah,” jawabnya sedikit meledek.
“Tapi saat ini banyak kok Bang yang nikah sesudah kawin,” sergahku ngeyel.
Sekejap wajah Bang Kho memandangku dengan mata sedikit terbelalak. Dalam bahasa diamnya aku sulit mengartikan sikapnya itu. Sedikit was-was jikalau aku salah ngomong. Tapi kupikir tidak, lagi pula Bang Kho adalah tipikal cerdas. Tak berselang lama, pandangannya kembali meneduh dan dia kembali pula pada posisi semulanya. Memandang langit di kejauhan.
“Itulah gunanya kamu ikut Tarbiyah Jeena, di situ bisa saling mengingatkan,” katanya menasehati diriku.
“Jadi kesimpulannya,” imbuhku.
“Kesimpulan apa?”
“Tentang hal berat yang membuat abang termenung di sini.”
“Ya itu.”
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Kawin ... eh, nikah.”
Mendengar kata itu keluar dari mulut Bang Kho, aku mengernyitkan keningku. Tampak jelas kerutan di kening membentuk pola tak beratur karena bingung penuh tanda tanya.
“Maksud abang, abang nik ...” belum selesai aku menuntaskan kalimatku, buru-buru matanya memberondong nyaliku. Tatapannya tajam menyayat-nyayat. Beberapa saat lamanya, sebelum wajah yang kukenal itu menunduk ke bumi.
“Abang rasa kamu sudah paham Jeena,” katanya memutus kalimatku.
Seketika perutku bergejolak. Kerongkongan ini pun tercekat dengan apa yang hendak aku utarakan. ‘Waw! Ini berita besar’ hati ternyata telah teriak duluan. Kulihat kiri kanan, setelah kuyakin tak ada orang buru-buru kumerapat pada Bang Kho. Kucondongkan bibir ini mendekat ke telinganya.
“Maksud abang, abang nikah lagi,” bisikku pada Bang Kho.
“Jangan asal bicara!” sejurus Bang Kho mendorongku karena kaget terhadap apa yang kukatakan.
“Ini baru niat abang saja, belum sampai menikah,” lanjutnya kemudian.
“Jadi baru akan toh, lalu ... istri abang bagaimana?” tanyaku.
“Itulah masalahnya Jeena, bagaimana cara meyakinkan istri abang tercinta agar abang diperbolehkan nambah lagi,” kata Bang Kho lugas.
Kali ini benar-benar aku yang terbengong dibuatnya. Melihat aku seperti itu, Bang Kho segera meluruskan perkataannya.
“Kamu jangan salah paham Jeena, abang akui jika Jamilah cantik dan soleha. Namun bukan itu. Niatan abang tulus, agar Jamilah memiliki sosok pelindung baginya. Orang tuanya sudah lama tiada, jadi abang kasihan padanya,” Papar Bang Kho.
“Oh, jadi Jamilah toh, si perawan di ujung gang,” komentarku menyindir.
“Lalu bagaimana?”
“Bagimana apanya?” tanyaku pura-pura tak paham.
“Cara meyakinkan kakak iparmu itu lah, biar dia tidak marah.”
“Kan abang selalu bilang padaku jika segala sesuatu itu harus kembali pada Al-Qur’an dan Hadits,” jawabku.
“Maksudmu?”
“Termasuk dalam hal ini juga bisa diterapkan Bang.”
Semula posisi duduk Bang Kho yang menyampingi diriku kini berubah. Ia putar badannya menghadap tepat ke arahku. Pandangan matanya kini selidik ingin tahu.
“Jelaskan! Jelaskan!” pintanya dengan semangat.
“Begini Bang.” Sejenak aku ambil nafas panjang, kemudian melanjutkan kembali, “Istri abang pastilah wanita yang soleha, oleh karena itu pastilah dia paham tentang ayat ke tiga dari surah An-Nissa.”
“Lalu,” tanya Bang Kho sembari mencondongkan badannya padaku.
“Jika ternyata istri abang menolaknya, berarti dia mengingkari ayat itu. Artinya aqidah istri abang patut dipertanyakan. Ha ha ha!” penjelasanku asal jeplak.
Semula aku kira Bang Kho tidak akan menghiraukan pendapat anak ingusan sepertiku ini. Tapi ternyata dugaanku meleset. Secepat kilat Bang Kho bangkit dari duduknya dan menyalamiku dengan kuat. Tubuhku bergoncang begitu kencang. Raut pasi tadi sekejap berubah menjadi wajah yang berbinar.
“Cerdaaas! Pintar kamu Jeena! Smart! Tengkyu ... tengkyu!” kata-katanya seloroh keluar sambil menggoncang-goncangkan lenganku. Secepat kilat Bang Kho ambil langkah seribu hendak meninggalkan aku yang masih berada di pinggiran kali itu.
“Mau kemana Bang?!” tanyaku.
“Abang harus pulang menemui istri abang segera!” teriaknya.
“Lah! Liqo’-nya bagaimana? Umi Neny bilang abang yang mesti isi materi!” teriakku pula mengingatkan.
“Bilang pada Richie dan lainnya kalau Liqo’-nya libur dulu!” teriaknya dari kejauhan.
Entah apa yang membuat Bang Kho begitu bersemangat hingga dia lupa mengucapkan salam.
...
Beberapa saat setelah itu kuputuskan menghadap Umi Neny untuk mengabarkan jika Bang Kho sibuk dan berhalangan mengisi Halaqoh kelompok Richie. Namun sebelum aku menghadap pada mereka, mendadak ponselku berdering. Ketika kuangkat ternyata di layar ponsel tertera kontak Bang Kho dengan gambar profil berupa foto dirinya yang sok narsis di depan kamera beberapa waktu lalu.
Kring ... kring ... kring! Segera kuangkat telpon panggilan dari Bang Kho.
“Assalamualaikum Bang,” sapaku.
“Wa’alaikumsalam ... Semprul Loe Jeena! Ini hasil pendapatmu!” pekik Bang Kho lewat ponsel menegaskan dia sedang marah besar.
“Berhasil ya Bang?” tanyaku penasaran.
“Boro-boro berhasil, yang ada abang dirajam sama istri abang! Ini gara-gara kamu! Bilang sama Richie dan lainnya. Liqo’-nya sore ini juga jadi! Pokoknya sampai besok pagiii...!!! Assalamualaikum!” tegas Bang Kho.
“Wa’alaikum salam,” jawabku terheran.
Mendadak berkelebat pikiran dalam benakku. Jadi apa Bang Kho kini setelah yang katanya dirajam istrinya. Ha ha ha! Buru-buru aku ingin menemuinya.
Tamat!


Jambi, 28/08-2014

Kerjaku Halal Ayah

Ko Jeena
“Terimakasih Pak atas kesempatan yang bapak berikan untuk saya.”
Lelaki berpenampilan necis di depan Ito hanya tersenyum sambil mengangguk. Sementara Ito masih bahagia menyelami nikmat Allah siang ini, hidungnya kembang kempis karena senyumnya terlanjur melebar.
Saya Muslim Bukan Teroris
Ko Jeena
Untuk menanggapi sebuah isu membutuhkan kepekaan yang bisa dikatakan luar biasa. Sebab jika kita hanya mengetahui kulit permasalahan tanpa tahu pokoknya, itu sama saja kita menelan mentah-mentah polemik global sesuai dengan opini yang hendak diutarakan si pemilik kepentingan. Boleh jadi kita menjadi korban opini tersebut.
Kumpulan Puisi Ko Jeena
Tabir langit telah ada dihadapanmu. Di depannya terbentang tirai panjang menjuntai hingga kaki-kaki langitpun enggan menapakinya. Lalu adakah kamu diantara para perindu-perindu usang yang berbaris di depan? Menanti bergiliran untuk sekedar menunjuk langit yang mana kamu suka.

Kumpulan Tips Islami

Kumpulan Tips Bermanfaat Dalam Islam
Sudah saatnya kita kembali kepada al-qur’an dan hadits. Mengenai seluruh tindak tanduk dan tingkah laku kita dalam kehidupan sehari-hari.

Sejarah Islam

Ada banyak nilai yang terkandung dari al-Qur’an dalam menjelaskan sejarah diantaranya: (1) Penyederhanaan, terlihat dari al-Qur’an dalam menjelaskan sejarah para Nabi dengan menyederhanakan melalui kisah ulul azmi.   (2) Pengulangan, dapat terlihat dari al-Qur’an dalam mengulang nama Nabi tertentu dalam jumlah pengulangan tertentu.
Antologi Lentera 1
Kompilasi dari beberapa Puisiku yang kugabungkan menjadi satu untuk memadatkan ruang Blog folder Kumpulan Puisi “Tabir Langit”
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------