Lupa Bisa Membunuhku




Ko Jeena
Jujur saja, memiliki penyakit ‘lupa’ adalah hal yang sangat tidak menyenangkan. Bagaimana tidak, ketika aku barusaja mengatakan “A” namun sesaat kemudian aku lupa jika tadi mengatakan apa. Alhasil, banyak pengalaman buruk yang didapat dari penyakit lupa ini. Dan salah satunya adalah apa yang kualami Ahad lalu.
“Cepatlah sedikit!” teriak ibuku sambil menggedor pintu kamar mandi.
Mendengar teriakan itu, sontak lamunanku tentang menyelamatkan seorang akhwat dari penyamun buyar saat itu juga. Lebih parah lagi, kepalaku sampai terjedot ke tembok karena kaget.
“Iya Bu, sebentar lagi. Soalnya nanggung, ada yang baru keluar setengah,” sahutku dari dalam.
“Kalau kamu lama-lama di kamar mandi, nanti keburu tempe yang dijual habis.”
“Sebentar lagi bu, satu hantaman lagi deh.”
Memang, setiap ahad pagi mengantar Ibu berbelanja adalah aktivitas rutin yang wajib dilakukan. Dikarenakan  hanya pada hari itu aku terbebas dari pekerjaan-pekerjaan kantor yang mengikat. Jadi cuma dihari ahad dan tanggal merahlah aku menjadikan momentum ini untuk sepenuhnya membantu ibu, termasuk belanja salah satunya. Tak ada telepon kantor yang merecoki ataupun komplen supplier karena telat pembayaran tagihan. Hari ahad benar-benar bebas dan merdeka.
Dalam urusan belanja, kami tidak bermewah-mewahan. Sucukupnya saja jika untuk dikonsumsi, tapi pastilah ibu membeli dalam jumlah banyak jika untuk dijual. Tidak tanggung-tanggung, yang dia beli adalah stock untuk jualan satu minggu kedepan. Kebanyakan pula yang dibeli adalah bahan-bahan sayuran untuk dibuat gorengan.
Untuk menekan biaya pengeluaran, kami lebih memilih berbelanja di pasar tradisional ‘Angso Duo’. Padahal di Jambi sendiri ada beberapa pasar tradisional. Tapi mungkin karena harga di Angso Duo lebih murah daripada lainnya, hal ini jadi pertimbangan Ibuku dalam berbelanja.
“Cepatlah sedikit,” kembali teriak ibuku.
Dengan pertimbangan mengecilkan balak, akhirnya kusudahi seremoni rutin ‘BAB’ kali ini. Segera setelah dibersihkan, aku ambil cara pintas untuk mandi sekilat mungkin. Cara koboi, yakni mencelupkan dua jari kiri dan dua jari kanan kemudian dikucek pada mata. Setelah pandangan jernih kini celupkan kesepuluh jari, sisir sampai merata keseluruh rambut hingga terlihat lembab semua. Dan hasilnya,  “Cliing!” terlihat seperti mandi.
“Oke Bu, ayo kita berangkat. Semua sudah beres,” jawabku dalam seringai senyum agar ia tak marah. Dan memang senyumku sudah terbukti khasiatnya. Walaupun tak bagus-bagus amat, tapi setidaknya bisa digunakan sebagai senjata untuk luluhkan hati ibu. Ketika dirasa semua persiapan berbelanja ke pasar telah siap, saat itu juga aku dan ibuku langsung meluncur menuju pasar.
Sesampai pasar, sesuailah dengan apa yang aku bayangkan. Kondisi pasar yang semerawut, becek, dan padat orang itu terlihat seperti kerumunan lalat yang mengitari seekor bangkai. Suaranya berdengung sana-sini dan ilir mudik meramaikan suasana pasar. Ada banyak tipikal orang disini, dari yang pemarah, lemah lembut, santun, bahkan ngondek sekalipun tetap ada. Pokoknya komplit manusia dan segala perwatakannya jika di pasar, sama seperti  sembako yang mereka jual. Sangat lengkap.
“Kita beli sayur kol dulu ya, untuk bahan bakwan,” ajak ibu untuk satroni lapak pertama.
“Oke bu!” jawabku singkat.
Di depan lapak penjual kol langganan kami, ibuku mulai mempertunjukan kebolehannya dalam hal tawar menawar harga.
“Uda, ini berapa?” pancing ibuku.
“Sama seperti biasa lah bu, tidak berubah harganya, lima ribu lima ratus rupiah,” jawab uda penjual kol itu.
“Loh kok mahal sekali Da, minggu kemarin empat ribu lima ratus dapat, masak naiknya seribu rupiah,” sergah ibu.
“Itu kan minggu kemarin bu, sekarang kol naik, gara-gara dekat pemilu naiknya,”elak Uda dengan argumennya.
“Ah! Mana bisa seperti itulah Da, yang naikkan para caleg, masak iya kol ikut nyaleg. Lagian ini juga daunnya banyak yang bopeng-bopeng digigit ulat. Mana bisa dihargai lima ribu lima ratus.”
“Kalau macam itu rugilah saya bu, nah bagaimana kalau lima ribu saja bu, rugi lima ratus tidak apa-apa lah saya,” Uda tetap mengelak.
“Kalau segitu saya tidak mau lah Da, mana mungkin penjual rugi Da,” kembali pancingan ibu sebagai ancang-ancang.
Uda yang sejak tadi mengelak, kini mulai kerepotan. Takut-takkut jika pembelinya pergi ke lapak yang lain.
“Empat ribu delapan ratus lah bu,” tawar Uda.
“Tidak lah Da, kalau empat ribu lima ratus maka akan saya ambil,” kata terakhir ibu sembari menarik tanganku dan pura-pura melengos pergi.
Tak lama kemudian Udapun kembali memanggil kami, “ibu, tunggu dulu.”
“Baiklah bu, empat ribu lima ratus, ibu mau ambil berapa kilo,” sambungnya lagi. Hal itu menandakan jika ibuku telah memenangkan pertarungan tawar menawar ini.
Hal yang sama pula dilakukan pada saat membeli ubi rambat, pisang, maupun sayur-sayuran lainnya. Sementara aku ditugaskan untuk membawa semua belanjaan menuju motor dan menjaganya disana. Jadi, untuk selanjutnya aku stay di atas motor menanti ibuku hingga selesai berbelanja.
Suka atau tidak suka kukatakan jika ‘belanja’ adalah salah satu godaan terbesar bagi wanita. Tak terkecuali ibuku, jika dia sudah bersentuhan dengan belanja maka dia akan lupa waktu. Bisa satu jam, bahkan bisa sampai dua jam. Ini serius!.
Tentu saja sebagai korbannya adalah aku yang mesti sabar menunggu dan berpanas-panas ria di atas motor. Duduk tercenung sendiri, namun kali ini aku tak bisa sambung khayalku tadi saat selamatkan seorang akhwat. Soalnya panasnya matahari sudah mulai memanggang ubun-ubunku. Untuk mencegah kebosanan terpaksa aku melihat orang-orang yang sliweran di depanku. Termasuk beberapa pedagang asongan yang menawarkan rokok dan juga kepada tiga orang SPG cantik berpakaian minim yang tawarkan mie instan merek ternama. Beh! – astagfirullah – tapi lihat pada pandangan pertama kan tidak dosa, itung-itung rezeki.
Tak beberapa lama kemudian, Hape di kantong celana sebelah kananku bergetar. Ternyata ada sms masuk dari teman lama sewaktu di SMA dulu. Namanya Adnan, dia menawarkan bisnis kecil-kecilan. Pada malam sebelumnya sudah kami bahas mengenai perencanaan dirinya.
“Mas, saya sudah menemukan konsepnya. Saat ini saya mau bicarakan dengan sampeyan. Bisa tidak sekarang mas datang ke rumah saya. Mumpung di sini sedang ada penanam modalnya,” pintanya melalui sms.
Wah, kesempatan besar pikirku. Jarang-jarang ada urusan bisnis seperti ini pemodalnya yang langsung menghampiri, biasanya para pelaku bisnis yang merangkak-rangkak untuk mencari sumber dana dari pemodal. Beda jika si pelaku bisnis memang sudah memilki modal sendiri, apakah itu tabungan atau hasil warisan. Nah bagi aku dan temanku ini adalah sebuah rezeki yang begitu besar dari Allah sang maha pencipta. Rasanya gimana gitu. Dengan gegap gempita segera kubalas, “oke! on the way.”
“Nah, ini dia orangnya pak. Ini yang namanya Ko jeena,” Sambut Adnan dengan memperkenalkan namaku ketika aku baru saja masuk kedalam rumahnya.
“Oh, jadi ini,” pungkas seorang lelaki bertubuh putih tinggi sembari mengulurkan tangannya mengajak bersalaman.
“Ko jeena pak.” – “Saya Han!.”
Kami saling memperkenalkan diri.
“Jeena, pak Han ini yang akan memodali usaha kita,” jelas Adnan kepadaku.
“Begini nak Jeena, beberapa hari yang lalu Adnan menemui saya dan bercerita tentang maksud dia untuk membuka galery foto wedding di sini. Saya katakan kepada dia jika untuk bisnis dibidang foto wedding itu sedikit sulit, karena saingannya sudah terlalu banyak. Untuk itu harus ada sebuah pemikiran baru yang membedakan antara galery dia dan milik orang lain. Adnan memberikan ide jika untuk foto wedding agar unik, itu pakai karikatur. Dan bapak setuju itu, apalagi ketika Adnan memperlihatkan contoh-contoh wajah yang telah diubah jadi karikatur. Wah... begitu melihat karya-karyamu makin suka bapak. Ini beda! dan bapak yakin prospeknya akan bagus. Oleh karena itu bapak menawarkan diri untuk memodali kalian jika kalian memang ingin jalan di usaha ini,” jelas pak Han panjang lebar.
Mendengarnya, aku melongo tak dapat berkata-kata apapun lagi. Syok! Bahagia! dan senangnya tak kepalang. Bagaimana bisa karya-karya karikaturku yang menurutku sendiri itu sampah dan tak ubahnya seperti tulisanku yang sampah pula. Eh, malah kini dihargai orang. Bahkan hingga dimodali segala. Seperti mimpi, tapi ini kenyataan.
“Ketika kuperlihatkan karyamu Jeena, pak Han ini langsung minta cepat-cepat dipertemukan denganmu,” sambung Adnan membuat besar kepalaku.
Panjang lebar perbincangan kami saat itu. Dari membicarakan konsep yang digagas Adnan, pemilihan tempat, target pemasaran, hingga bagaimana cara memutar kembali modal itu kami bahas pula. Tidak tersadar telah habis satu gelas teh hangat yang disuguhkan Adnan padaku. Dan itu tandanya aku harus pamit pulang, meskipun banyak hal lainnya yang masih ingin kubahas dengan mereka. Kutancap motorku dengan perasaan bahagia. Ingin sekali cepat tiba dirumah dan aku bisa ceritakan kepada keluargaku.
Ketika tiba di rumah, aku mendapati raut wajah ibu tersayangku beda dari biasanya. Kali ini wajahnya ditekuk. Anehnya pula dia menanti di depan pintu, tumben ibuku berbaik hati untuk sambut anaknya ketika kembali. Dan saat aku hampiri untuk mengucapkan salam, iapun berkata.
“Belanjanya sudah Jeeeenaaa!” kata ibuku. Tapi terdengar seperti nada tidak senang.
“Belanja?, asstagfirullah!!!, ibu, maaf! buuuuu!.”
Sialnya, ketika teringat ‘belanja’ aku malah mendapati ibuku dengan sungut amarahnya. Aku lupa jika tadi aku belanja dengan ibu. Dan aku tinggalkan beliau sendiri di pasar. Wah! Celaka ini!. Dan aku yakin kali ini khasiat senyumku tidak akan mujarab. Akankah bom atom nagasaki hiroshima akan terjadi lagi? mungkin dirumah ini. Ini semua gara-gara penyakit lupa, pasti hancur aku kali ini.
Jambi, 05 April 2014

4 komentar:

  1. Unknown mengatakan...

    Lucu.... Hehee ,pikun jg y trnyta kk ni...

  2. Unknown mengatakan...

    hahaha. ya bisa dibilang seperti itulah. pelupa. :v

  3. Erna Metasari mengatakan...

    Yuk daftar, main-main b0l4 disini F*a*n*s*B*E*T*T*I*N*G :)

  4. bam dum tus mengatakan...

    agen365 menyediakan game : sbobet, ibcbet, casino, togel dll
    ayo segera bergabung bersama kami di agen365*com
    pin bbm :2B389877

Posting Komentar