Jujur saja, memiliki penyakit ‘lupa’
adalah hal yang sangat tidak menyenangkan. Bagaimana tidak, ketika aku barusaja
mengatakan “A” namun sesaat kemudian aku lupa jika tadi mengatakan apa.
Alhasil, banyak pengalaman buruk yang didapat dari penyakit lupa ini. Dan salah
satunya adalah apa yang kualami Ahad lalu.
“Cepatlah sedikit!” teriak ibuku
sambil menggedor pintu kamar mandi.
Mendengar teriakan itu, sontak
lamunanku tentang menyelamatkan seorang akhwat dari penyamun buyar saat itu
juga. Lebih parah lagi, kepalaku sampai terjedot ke tembok karena kaget.
“Iya Bu, sebentar lagi. Soalnya
nanggung, ada yang baru keluar setengah,” sahutku dari dalam.
“Kalau kamu lama-lama di kamar
mandi, nanti keburu tempe yang dijual habis.”
“Sebentar lagi bu, satu hantaman
lagi deh.”
Memang, setiap ahad pagi mengantar
Ibu berbelanja adalah aktivitas rutin yang wajib dilakukan. Dikarenakan
hanya pada hari itu aku terbebas dari pekerjaan-pekerjaan kantor yang
mengikat. Jadi cuma dihari ahad dan tanggal merahlah aku menjadikan momentum
ini untuk sepenuhnya membantu ibu, termasuk belanja salah satunya. Tak ada telepon
kantor yang merecoki ataupun komplen supplier karena telat pembayaran tagihan.
Hari ahad benar-benar bebas dan merdeka.
Dalam urusan belanja, kami tidak
bermewah-mewahan. Sucukupnya saja jika untuk dikonsumsi, tapi pastilah ibu
membeli dalam jumlah banyak jika untuk dijual. Tidak tanggung-tanggung, yang
dia beli adalah stock untuk jualan satu minggu kedepan. Kebanyakan pula yang
dibeli adalah bahan-bahan sayuran untuk dibuat gorengan.
Untuk menekan biaya pengeluaran,
kami lebih memilih berbelanja di pasar tradisional ‘Angso Duo’. Padahal di
Jambi sendiri ada beberapa pasar tradisional. Tapi mungkin karena harga di
Angso Duo lebih murah daripada lainnya, hal ini jadi pertimbangan Ibuku dalam
berbelanja.
“Cepatlah sedikit,” kembali teriak ibuku.
Dengan pertimbangan mengecilkan
balak, akhirnya kusudahi seremoni rutin ‘BAB’ kali ini. Segera setelah dibersihkan,
aku ambil cara pintas untuk mandi sekilat mungkin. Cara koboi, yakni
mencelupkan dua jari kiri dan dua jari kanan kemudian dikucek pada mata.
Setelah pandangan jernih kini celupkan kesepuluh jari, sisir sampai merata
keseluruh rambut hingga terlihat lembab semua. Dan hasilnya, “Cliing!”
terlihat seperti mandi.
“Oke Bu, ayo kita berangkat. Semua
sudah beres,” jawabku dalam seringai senyum agar ia tak marah. Dan memang senyumku
sudah terbukti khasiatnya. Walaupun tak bagus-bagus amat, tapi setidaknya bisa
digunakan sebagai senjata untuk luluhkan hati ibu. Ketika dirasa semua persiapan
berbelanja ke pasar telah siap, saat itu juga aku dan ibuku langsung meluncur
menuju pasar.
Sesampai pasar, sesuailah dengan apa yang aku bayangkan.
Kondisi pasar yang semerawut, becek, dan padat orang itu terlihat seperti
kerumunan lalat yang mengitari seekor bangkai. Suaranya berdengung sana-sini
dan ilir mudik meramaikan suasana pasar. Ada banyak tipikal orang disini, dari
yang pemarah, lemah lembut, santun, bahkan ngondek
sekalipun tetap ada. Pokoknya komplit manusia dan segala perwatakannya jika di
pasar, sama seperti sembako yang mereka
jual. Sangat lengkap.
“Kita beli sayur kol dulu ya, untuk bahan bakwan,” ajak ibu
untuk satroni lapak pertama.
“Oke bu!” jawabku singkat.
Di depan lapak penjual kol langganan kami, ibuku mulai
mempertunjukan kebolehannya dalam hal tawar menawar harga.
“Uda, ini berapa?” pancing ibuku.
“Sama seperti biasa lah bu, tidak berubah harganya, lima ribu
lima ratus rupiah,” jawab uda penjual kol itu.
“Loh kok mahal sekali Da, minggu kemarin empat ribu lima
ratus dapat, masak naiknya seribu rupiah,” sergah ibu.
“Itu kan minggu kemarin bu, sekarang kol naik, gara-gara
dekat pemilu naiknya,”elak Uda dengan argumennya.
“Ah! Mana bisa seperti itulah Da, yang naikkan para caleg,
masak iya kol ikut nyaleg. Lagian ini juga daunnya banyak yang bopeng-bopeng
digigit ulat. Mana bisa dihargai lima ribu lima ratus.”
“Kalau macam itu rugilah saya bu, nah bagaimana kalau lima
ribu saja bu, rugi lima ratus tidak apa-apa lah saya,” Uda tetap mengelak.
“Kalau segitu saya tidak mau lah Da, mana mungkin penjual
rugi Da,” kembali pancingan ibu sebagai ancang-ancang.
Uda yang sejak tadi mengelak, kini mulai kerepotan.
Takut-takkut jika pembelinya pergi ke lapak yang lain.
“Empat ribu delapan ratus lah bu,” tawar Uda.
“Tidak lah Da, kalau empat ribu lima ratus maka akan saya
ambil,” kata terakhir ibu sembari menarik tanganku dan pura-pura melengos
pergi.
Tak lama kemudian Udapun kembali memanggil kami, “ibu, tunggu
dulu.”
“Baiklah bu, empat ribu lima ratus, ibu mau ambil berapa
kilo,” sambungnya lagi. Hal itu menandakan jika ibuku telah memenangkan
pertarungan tawar menawar ini.
Hal yang sama pula dilakukan pada saat membeli ubi rambat,
pisang, maupun sayur-sayuran lainnya. Sementara aku ditugaskan untuk membawa
semua belanjaan menuju motor dan menjaganya disana. Jadi, untuk selanjutnya aku
stay di atas motor menanti ibuku
hingga selesai berbelanja.
Suka atau tidak suka kukatakan jika ‘belanja’ adalah salah
satu godaan terbesar bagi wanita. Tak terkecuali ibuku, jika dia sudah
bersentuhan dengan belanja maka dia akan lupa waktu. Bisa satu jam, bahkan bisa
sampai dua jam. Ini serius!.
Tentu saja sebagai korbannya adalah aku yang mesti sabar
menunggu dan berpanas-panas ria di atas motor. Duduk tercenung sendiri, namun
kali ini aku tak bisa sambung khayalku tadi saat selamatkan seorang akhwat. Soalnya
panasnya matahari sudah mulai memanggang ubun-ubunku. Untuk mencegah kebosanan
terpaksa aku melihat orang-orang yang sliweran
di depanku. Termasuk beberapa pedagang asongan yang menawarkan rokok dan juga kepada
tiga orang SPG cantik berpakaian minim yang tawarkan mie instan merek ternama. Beh!
– astagfirullah – tapi lihat pada
pandangan pertama kan tidak dosa, itung-itung rezeki.
Tak beberapa lama kemudian, Hape di kantong celana sebelah
kananku bergetar. Ternyata ada sms masuk dari teman lama sewaktu di SMA dulu. Namanya
Adnan, dia menawarkan bisnis kecil-kecilan. Pada malam sebelumnya sudah kami
bahas mengenai perencanaan dirinya.
“Mas, saya sudah menemukan konsepnya.
Saat ini saya mau bicarakan dengan sampeyan. Bisa tidak sekarang mas datang ke
rumah saya. Mumpung di sini sedang ada penanam modalnya,” pintanya melalui sms.
Wah, kesempatan besar pikirku. Jarang-jarang ada urusan
bisnis seperti ini pemodalnya yang langsung menghampiri, biasanya para pelaku
bisnis yang merangkak-rangkak untuk mencari sumber dana dari pemodal. Beda jika
si pelaku bisnis memang sudah memilki modal sendiri, apakah itu tabungan atau
hasil warisan. Nah bagi aku dan temanku ini adalah sebuah rezeki yang begitu
besar dari Allah sang maha pencipta. Rasanya gimana gitu. Dengan gegap gempita
segera kubalas, “oke! on the way.”
“Nah, ini dia orangnya pak. Ini yang namanya Ko jeena,” Sambut
Adnan dengan memperkenalkan namaku ketika aku baru saja masuk kedalam rumahnya.
“Oh, jadi ini,” pungkas seorang lelaki bertubuh putih tinggi
sembari mengulurkan tangannya mengajak bersalaman.
“Ko jeena pak.” – “Saya Han!.”
Kami saling memperkenalkan diri.
“Jeena, pak Han ini yang akan memodali usaha kita,” jelas
Adnan kepadaku.
“Begini nak Jeena, beberapa hari yang lalu Adnan menemui saya
dan bercerita tentang maksud dia untuk membuka galery foto wedding di sini. Saya
katakan kepada dia jika untuk bisnis dibidang foto wedding itu sedikit sulit,
karena saingannya sudah terlalu banyak. Untuk itu harus ada sebuah pemikiran
baru yang membedakan antara galery dia dan milik orang lain. Adnan memberikan
ide jika untuk foto wedding agar unik, itu pakai karikatur. Dan bapak setuju
itu, apalagi ketika Adnan memperlihatkan contoh-contoh wajah yang telah diubah
jadi karikatur. Wah... begitu melihat karya-karyamu makin suka bapak. Ini beda!
dan bapak yakin prospeknya akan bagus. Oleh karena itu bapak menawarkan diri
untuk memodali kalian jika kalian memang ingin jalan di usaha ini,” jelas pak
Han panjang lebar.
Mendengarnya, aku melongo tak dapat berkata-kata apapun lagi.
Syok! Bahagia! dan senangnya tak kepalang. Bagaimana bisa karya-karya
karikaturku yang menurutku sendiri itu sampah dan tak ubahnya seperti tulisanku
yang sampah pula. Eh, malah kini dihargai orang. Bahkan hingga dimodali segala.
Seperti mimpi, tapi ini kenyataan.
“Ketika kuperlihatkan karyamu Jeena, pak Han ini langsung
minta cepat-cepat dipertemukan denganmu,” sambung Adnan membuat besar kepalaku.
Panjang lebar perbincangan kami saat itu. Dari membicarakan
konsep yang digagas Adnan, pemilihan tempat, target pemasaran, hingga bagaimana
cara memutar kembali modal itu kami bahas pula. Tidak tersadar telah habis satu
gelas teh hangat yang disuguhkan Adnan padaku. Dan itu tandanya aku harus pamit
pulang, meskipun banyak hal lainnya yang masih ingin kubahas dengan mereka. Kutancap
motorku dengan perasaan bahagia. Ingin sekali cepat tiba dirumah dan aku bisa
ceritakan kepada keluargaku.
Ketika tiba di rumah, aku mendapati raut wajah ibu
tersayangku beda dari biasanya. Kali ini wajahnya ditekuk. Anehnya pula dia menanti
di depan pintu, tumben ibuku berbaik hati untuk sambut anaknya ketika kembali. Dan
saat aku hampiri untuk mengucapkan salam, iapun berkata.
“Belanjanya sudah Jeeeenaaa!” kata ibuku. Tapi terdengar
seperti nada tidak senang.
“Belanja?, asstagfirullah!!!, ibu, maaf! buuuuu!.”
Sialnya, ketika teringat ‘belanja’ aku malah mendapati ibuku
dengan sungut amarahnya. Aku lupa jika tadi aku belanja dengan ibu. Dan aku tinggalkan
beliau sendiri di pasar. Wah! Celaka ini!. Dan aku yakin kali ini khasiat
senyumku tidak akan mujarab. Akankah bom atom nagasaki hiroshima akan terjadi
lagi? mungkin dirumah ini. Ini semua gara-gara penyakit lupa, pasti hancur aku
kali ini.
Jambi, 05 April 2014
Lucu.... Hehee ,pikun jg y trnyta kk ni...
hahaha. ya bisa dibilang seperti itulah. pelupa. :v
Yuk daftar, main-main b0l4 disini F*a*n*s*B*E*T*T*I*N*G :)
agen365 menyediakan game : sbobet, ibcbet, casino, togel dll
ayo segera bergabung bersama kami di agen365*com
pin bbm :2B389877