Perusahaan manapun tempat seseorang bekerja, pastilah
menekankan pada etos kerja yang tinggi. Kedisiplinan, ketekunan, kejujuran, dan
juga loyalitas harus dimiliki oleh karyawan karena ini adalah tolok ukur
profesionalisme seseorang. Namun diriku berbeda, sebagai atasan pusat grosir
pakaian dan aksesoris islami aku menekankan kepada setiap karyawan tentang hal terpenting
yang harus dimiliki mereka, yaitu ‘ketakwaan’.
“Izzah, bagaimana dengan mereka berdua? apa sudah kamu
telepon,” tanyaku kepada seorang karyawati bagian customer service.
“Sudah Pak, saya katakan kepada mereka untuk datang siang
ba’da dzuhur nanti,” jelasnya singkat.
“Terimakasih ya,” ucapku singkat sembari beringsut pergi
menuju ruang kerja.
Di atas meja kerjaku tergeletak dua berkas. Yang satu ditaruh
rapi pada map merah, sementara yang lainnya di dalam amplop coklat seukuran
kertas F4. Dua berkas itu adalah berkas lamaran yang masuk kekantor dua hari
yang lalu, namun baru sempat kubaca kemarin sore satu jam sebelum aku pulang.
Memang benar jika saat ini perusahaanku membutuhkan seorang finance karena orang yang mengisi posisi
itu sebelumnya telah mengundurkan diri. Oleh karena itu aku memasang iklan
lowongan kerja di koran dengan harapan akan ada yang melamar dan tentunya
sesuai dengan kriteria. Sampai pada saat ini, satu minggu setelah iklan dimuat
hanya dua orang saja yang melamar. Aku juga tidak tahu pasti kenapa banyak yang
tak berminat, padahal bayaran yang aku tawarkan termasuk tinggi di atas
rata-rata gaji finance pada umumnya. Apa mungkin syarat yang aku butuhkan untuk
para pelamar itu terlalu berat? aku rasa tidak.
“Dicari, pria atau wanita, usia
maksimal 28 tahun, pengalaman dibidang finance. Bertakwa lebih diutamakan. Gaji
nego. Kirim lamaran ke PO BOX 1234,” begitu bunyi iklan yang aku muat di koran satu minggu lalu.
Anehnya, dari berpuluh-puluh orang pelamar dalam anganku
hanya dua orang saja yang benar-benar tertarik dengan lowongan ini. Padahal di
iklan tidak pula aku sebutkan jika ada batasan pendidikan minimal. Maukah dia
lulusan S2, S1, SMA, bahkan SD sekalipun jika dia berpengalaman dan mengerti
tantang tata cara pengelolaan uang pasti aku terima. Intinya menjadi finance
itu mudah jika rajin bertanya apabila ada hal yang tak diketahui. Asal dia
mengerti tentang cara mendebet dan mengkredit setiap biaya, prosedural yang
lain bisa mengikuti.
Lamat kulihat pada dua berkas lamaran itu, sejujurnya aku
tertarik pada keduanya. Jika sekilas ditilik lebih dalam, mereka sama-sama
berpengalaman dalam hal bekerja. Hanya saja pelamar pertama yang bernama Abu
ini lebih berpengalaman satu tahun dibandingkan yang kedua, Amri. Kedua pelamar
adalah seorang lelaki, Abu yang masih bujangan sementara Amri sudah
berkeluarga. Itu yang tertulis di biodata diri.
Jam sudah menunjukan waktu dzuhur, ditandai dengan lengkingan
adzan memanggil-manggil. Mengharuskan aku untuk segera meninggalkan kantor dan
menuju ke musshola terdekat di depan pengkolan.
“Jika mereka sudah datang duluan, suruh mereka untuk menunggu
di ruang tunggu ya. Soalnya setelah dzuhur aku mau bertemu kolegaku di luar
dulu,” pintaku kepada Izzah.
“Iya, Pak,” angguknya mengerti.
Satu jam kemudian, setelah aku kembali dari sholat dan menemui
kolegaku. Aku mendapati ada dua orang yang menunggu di ruang tunggu. Mereka
berdua terlihat rapi dengan kemeja dan celana dasarnya. Seorang yang
berperawakan kurus tinggi mengenakan kemeja biru dengan potongan klismis belah
pinggir, dan satunya lagi berperawakan gendut berkemeja putih dengan potongan
cepak pendeknya.
“Itu mereka Pak,” kata Izzah sambil mengikuti langkah kakiku.
Tak pikir lama-lama, segera kuhampiri untuk berkenalan dengan
mereka.
“Assalamualaikum, Abu, Amri,” sapaku pada mereka.
“Waalaikum salam Pak,” jawab mereka serentak.
“Saya Farhan,” kataku sembari mengulurkan tangan kepada
mereka.
“Saya Abu Pak,” balas pemuda yang mengenakan kemeja biru.
“Nama saya Amri Pak,” begitupula balasan pemuda yang
mengenakan kemeja putih.
“Oh, senang bertemu kalian. Baiklah, siapa yang ingin
interview duluan? mari ikuti saya kedalam, interviewnya satu-persatu,” ajakku
kepada nereka.
Ternyata yang masuk duluan adalah Abu. Seseorang berperawakan
kurus tinggi ini maju duluan. Di dalam ruangan, proses interview berjalan sama
seperti biasanya. Tidak ada yang istimewa dalam sesi tanya jawab ini.
Pertanyaan masih seputar pengalaman kerja, latar belakang, motivasi dia
bekerja, visi misinya, dan pertanyaan-pertanyaan seputar ketakwaannya terhadap
Allah SWT. Begitupula dengan orang berikutnya yang berperawakan gendut itu,
Amri. Tak jauh beda halnya dengan Abu. Aku masih menanyakan pertanyaan yang
sama.
Hingga berakhirnya sesi tanya jawab ini, sedikit aku bubuhkan
test ringan seputar kemampuan mereka. Dari kemampuan mengoperasikan komputer
hingga kecekatan mereka dalam menyusun dan menghitung uang yang sengaja aku
buyarkan. Dari segi kemampuan, oke lah, mereka berdua sama hebatnya.
Setelah satu-persatu mereka kupanggil ke ruangan, kini
giliran mereka berdua yang kupanggil secara bersamaan.
“Sebelumnya saya ucapkan terimakasih untuk kedatangan kalian
berdua, jujur saya sangat tertarik pada kalian karena kalian menunjukan
kredibilitas yang tinggi dan menunjukan semangat untuk bekerja. Latar belakang
kalian, motivasi kalian dalam bekerja, visi misi kalian luar biasa. Namun
sekali lagi perusahaan ini pastinya membutuhkan yang terbaik dari yang terbaik.
Dan siapapun itu diantara kalian, saya harap yang lainnya jangan berkecil
hati,” apresiasiku terhadap mereka. Sementara mereka berdua hanya diam dan menganggukkan
kepalanya saja.
“Besok saya akan menelepon salah satu diantara kalian yang
lebih memenuhi syarat untuk management
disini,” sambungku kembali.
“Iya, Pak,” jawab mereka serentak.
Sembari tersenyum, aku menyodorkan permen yang ada di toples
di depan mereka.
“Silahkan, dimakan permennya. Bawa santai saja, jangan
terlalu dipikirkan untuk hal yang serius. Nanti cepat tua,” candaku mencoba
cairkan suasana.
Awalnya malu-malu, namun kemudian Abu mengambilnya dan
memakannya. Sementara Amri hanya tersenyum melihat Abu memainkan lidahnya
ketika mengemut permen itu.
“Kamu tidak mau permen Amri,” tanyaku kepada Amri.
“Terimakasih Pak, tapi saya puasa kamis,” jawabnya saat
menolak tawaranku.
“Kalau boleh tahu, interviewnya masih lama atau sudah selesai
Pak? jika sudah selesai sebaiknya saya permisi pulang saja,” sambungnya lagi.
“Oh, ya ya, silahkan jika ingin pulang, interviewnya sudah
selesai kok,” jawabku.
Pamit Amri, kemudian diikuti olah Abu meninggalkan ruangan.
Setelah yakin mereka telah pulang, segera kuangkat gagang telepon dan menelepon
Izzah untuk menyuruhnya masuk ke dalam ruangan.
“Iya, Pak... ada apa?” tanya Izzah heran
“Izzah, Besok kamu hubungi Amri, dan katakan kepadanya jika
dia bisa mulai masuk bekerja senin ini,” perintahku mantap.
...
Sesampai dirumah, aku tidak tahu darimana istriku mendapatkan
informasi tentang interview tadi siang di kantor. Mungkin dari Izzah, atau
mungkin dia memiliki kekuatan khusus indera keenam tanpa dia beri tahu padaku.
Apapun itu, seperti sinyal wifi yang kuat selalu saja informasi itu sampai di
telinganya terlebih dulu.
“Abi, jadi siapa yang abi pilih antara dua orang itu? yang
kurus atau yang gendut. Umi tanya ke Izzah,” tanyanya saat menuangkan nasi ke
atas piringku.
“Nah! Benerkan. Sudah abi duga umi sering nanya-nanya Izzah.
Huft!. Yang gendut mi,” jawabku diiringi senewen
karena sikap tak percayaan istriku.
“Alasannya kenapa Bi?” tanyanya lagi.
“Awalnya abi ingin pilih yang kurus karena pengalamannya
lebih tinggi, tapi terakhir ketika mereka hendak pulang, abi berubah pikiran.
Ternyata yang gendut lebih bertakwa daripada yang kurus. Buktinya dia masih ingat
dengan sunnah menjalankan puasa senin kamis,” jelasku singkat.
Sementara istriku hanya manggut-manggut mengiyakan.
“Mungkin bagi yang lain cara abi mencari pegawai tergolong
aneh, masak yang bertakwa dan bukan yang pintar? karena abi yakin mi, kepintaran
itu didapat karena orang itu rajin-rajin bertanya dan mencoba. Kan ada istilah
bisa karena biasa. Sementara ketakwaan bukanlah sesuatu hal yang didapat dengan
gampangnya seperti dia membalikkan telapak tangan. Butuh proses yang panjang
dan serius untuk dapat dikatakan bertakwa. buktinya orang berpuasa harus
bersusah payah menahan lapar dan dahaga hingga terbenamnya matahari, susahkan.”
“Kenapa harus yang bertakwa,” tanya istriku penuh rasa ingin
tahu.
“Dengan hanya kriteria bertakwa, berarti abi sudah memiliki
seorang pegawai lengkap dengan segala potensi yang lainnya. Contohnya,
seseorang yang bertakwa pasti dia adalah orang yang jujur dan tidak akan
korupsi, karena orang yang bertakwa pasti dalam setiap tindakannya selalu ingat
Allah. Dia takut melakukan kejahatan karena dia merasa Allah mengawasinya. Seseorang
yang bertakwa pasti dia adalah pekerja yang rajin, karena jika orang itu
bertakwa maka dia akan melihat bekerja itu bukan proses mencari uang. Tapi
bekerja adalah ibadah, makanya karena dia ingin ibadahnya dinilai oleh Allah
dan diridhoi, itu sebabnya dia akan serius bekerja, rajin, disiplin, dan giat
melakukannya. Karena ini adalah ibadah. Itulah keunggulannya orang yang
bertakwa,” paparku panjang lebar.
“Oh, begitu ya Bi, tapi hari ini abi kok tidak puasa?”
tanyanya kembali sekaligus mematahkan argumenku.
“Ah! umi, itulah makanya abi nyari yang bertakwa. Agar bisa
mengingatkan abi ketika lalai!” jawabku ngeles, sesaat setelah istriku melengos
pergi meninggalkanku.
Jambi, 06 April 2014
Yuk daftar, main-main b0l4 disini F*a*n*s*B*E*T*T*I*N*G :)
AJOQQ menyediakan 8 permainan yang terdiri dari :
Poker,Domino99 ,BandarQ,BandarPoker,Capsa,AduQ,Sakong,Bandar66 ( NEW GAME )
Ayo segera bergabung bersama kami di AJOQQ :)
Bonus : Rollingan 0.3% dan Referral 20% :)
agen365 menyediakan game : sbobet, ibcbet, casino, togel dll
ayo segera bergabung bersama kami di agen365*com
pin bbm :2B389877