Ko Jeena
Siang begitu terik, tak menyurutkan
tekad kami untuk mencari es campur yang katanya super duper enak itu. Bela-belain
meninggalkan cucian setumpuk demi semangkok es yang nikmat. Bagaimana tidak,
ketika masih bersikutat dengan cucian satu minggu yang sudah sangat menumpuk.
Tiba-tiba kawan lama datang, tanpa pemberitahuan sebelumnya ia langsung main
ajak keluar saja untuk mencari es itu. Terkesan penculikan memang. Ah! tapi
siapa juga yang ingin menculikku, jika mau besar pengeluaran daripada tebusan
silahkan. Itupun kalau ditebus. Kejam.
Begitu takutnya kawanku itu, hingga
dia main tancap gas full motornya. Sampai-sampai aku yang dibonceng ini
bergidik merinding. Takut terbang terbawa angin, soalnya tubuhku ini begitu
kurus, Cuma delapan puluh enam Kilogram.
Sial! Pikirku, ini semua Cuma
gara-gara es yang katanya mantap itu. Takut kehabisan katanya. Tahu sendirilah,
setiap yang mantap-mantap pasti paling pertama diburu orang. Tuh contohnya si
Zainab, karyawan bank swasta di sebelah tempatku bekerja. Karena dia mantap
menurut kacamata lelaki, makanya banyak manusia hidung belang yang jadi keranjingan untuk mendekati dirinya.
Beda sama teman zainab yang gendut bin cerewet itu, karena tak mantap akhirnya
dia jadi sulit mendapatkan jodoh. Tapi ini tidak bisa dijadikan tolok ukur ya. Sebab
kalau aku pribadi keimanan dan ketakwaan yang jadi patokan. Seperti itu pulalah
gambaran es campur ini, karena rasanya yang lezat makanya diburu orang.
“Bro, pelan sedikit!” teriakku dari
belakang.
“Ndak bisa! Nanti habis,” bantahnya.
“Mana bisa habis lah Bro, pasti
penjualnya nyiapin banyak.”
“Kalau begitu nanti tempatnya penuh!
Kita harus ceepaat!” bantahnya lagi.
“Ya sudah, terserah! Tapi kamu harus
fokus lihat jalan Bro! Kita ngebut banget,” kataku seraya mengekspresikan
kecemasanku.
“Takut mati?”
“Ya ndak sih Bro, tapi kan aku belum
walimahan Bro.”
“Ya itu artinya takut mati!”
“Daripada dirimu, takut kehabisan
es,” sergahku dengan senewen.
Motor matik urakan miliknya masih
saja dipacu dengan kecepatan tinggi. Begitu cepat hingga jika ada Marquezz dan
Rossi pasti aku yakin jika mereka kalah. Karena mereka mengendarai becak.
Tikungan demi tikungan dilewati, mobil apapun yang ada di depannya selalu dia salip.
Hanya satu mobil yang sepertinya enggan dia salip. Mobil jenazah. Bisa jadi
pikirannya merancau, takut ketika berandai-andai jika dia yang ada di dalamnya.
Setiba di sana, benarlah dugaanku.
Tempatnya penuh dan sesak dengan manusia, hingga untuk memakirkan kendaraan
saja susahnya setengah hidup. Harus rela besempil-sempilan dengan kendaraan
lain, untungnya nih motor milik dia urakan ... jelek ... butut, jadi tidak
takut lecet. Kalau diibaratkan manusia, motornya ini sudah banyak korengannya (luka).
“Geser dikit Bang! Sempit nih” protes
temanku itu kepada bapak penjaga parkir.
“Ya mbok geser sendiri, ini saya
sedang markirin motor pengunjung juga,” jawabnya.
“Ah! bapak, cewek cakep saja yang
didahulukan!” protesnya lagi dengan nada sewot.
“Kamu parkirin sendiri ya Bro, aku
coba mau lihat ke dalam, kali-kali saja masih ada tempat yang kosong,” saranku
kepada kawan itu, sembari bergegas menuju ke dalam warung.
Clingak-clinguk
melihat situasi di dalampun satu bangku saja tidak ada yang terlihat kosong.
Semua meja dan bangku penuh terisi, bahkan di depan penjualnya terlihat
beberapa orang pembeli sedang berdiri mengantri. Tapi ku rasa pasti mereka
bungkus dan dibawa pulang jika lihat kondisi keramaian kalau minum di sini.
Sampai-sampai ada pembeli seorang gadis yang sedari tadi berdiri mengantri
(sebut sajalah namanya Bunga) berkomentar kepada kawannya.
“Idiih, rame banget Say, pindah yuk,”
itu katanya.
Beberapa kali ia ucapkan keluhan
serupa, tapi anehnya meski mengeluh seperti itu masih saja dia rela berdiri
mengantri. Seharusnya konsisten dengan ucapan, bikin yang dengar jadi keki saja.
“Bro! Ramai!” teriakku dari ambang
pintu warung.
“Tunggu sajalah! Toh kita sudah
jauh-jauh datang ke sini,” pungkasnya.
Karena si pemilik modal yang traktir
mengatakan itu, ya terpaksa aku mengikuti keinginannya. Tidak apalah, menunggu
sebentar kok ... palingan dua jam. Sambil memasang tatapan galak melihat ke
sekeliling, jadi kalau beradu pandang dengan pengunjung lain yang sengaja
berlama-lama duduk di bangku warung langsung menusuk ke hati. Cring! ...
langsung mereka jadi kabur seraya bergumam dalam hati ‘Narapidana! Narapidana!
Tolong!!.’
Maha besar Allah yang menggerakkan
hati. Tak lama kemudian sepasang muda-mudi terlihat mengakhiri acara santap es
siang mereka. Jadi otomatis ada dua bangku yang kosong, meskipun dua bangku
sebelahnya masih terisi dengan sepasang yang lain. Satu meja ada empat kursi.
Buru-buru ku tarik tangan kawanku itu, sampai-sampai hampir dia terjungkal ku
buat.
“Bro! Cepat Bro!” teriakku.
“Ambil posisi! Kita serang sekarang!
Majuuu!!!” teriak kawanku pula.
Terlihat di samping kami seseorang
bertubuh gempal hendak memperebutkan kursi kosong itu. Layaknya perebutan kursi
legislatif, aksi sikut kiri kananpun juga terjadi.
“Awas Bro! Serangan datang!” teriakku
mengingatkan pada kawanku itu.
Sebuah sleedingan keras terjadi!
Namun kami berhasil menghindar. Cepat-cepat kami saling mengoper, taktik satu
dua sepertinya akan berhasil. Dengan memanfaatkan speed kawanku itu, kami
berhasil menerobos pertahanan lawan. Lawan tak jera! Aksi lobbi-lobbi juga
terjadi, namun sayangnya belum berhasil. Akhirnya lawan gunakan strategi
pamungkasnya untuk merebut kursi kosong itu, serangan akhir ‘serangan fajar.’
“Mas! Saya bayar deh! Asal saya bisa
duduk di sana!” itu tawarannya.
Sesaat aku dan kawanku saling
memandang. Pakai isyarat dan sandi bola mata akhirnya kami berdua sepakat.
“Maaf Mas, karena kami orangnya
Jujur, adil, dan bersih ... kami tolak politik uang Mas,” jawabku kepadanya
yang membuat dia tertunduk lesu dan mundur ke belakang.
Ah! itu hanya analogi. Intinya kami
berhasil menduduki kursi kosong itu. Kami berhasil! Impian kami akan terwujud
... terwujud!.
Tak beberapa lama seorang pelayan
menhampiri, “Mau pesan apa Mas?”
“Es campur dua,” minta kawanku
singkat.
Dalam hatiku terusik. Segera ku
lemparkan kembali lirikan kepada kawanku itu untuk mengisyaratkan, ‘Aduh ... sekalian Bro ... sekalian ...
Pempek Lenggangnya juga, atau kalau tidak Selamnya juga enak Bro ... Bro.’
Namun ternyata serangan mentalku terpental kembali. Gagal. Pada akhirnya kami
di sana hanya minum es campur saja.
Ku amati sekeliling, beraneka ragam wajah
ada di sana. Mereka ada yang datang berdua, bertiga, berempat, ada yang
mengenakan kemeja kantoran, gamis, dan kaos oblong juga ada. Bermacam-macam
pula karakter yang membentuk diri mereka pastinya. Tanpa aku sengaja ku
layangkan pandang kepada sepasang kekasih yang ada di sebelah kami, satu meja
dengan kami. Aku duduk di sebelah lelakinya dan kawanku itu duduk di sebelah
wanitanya. Kaget! Tertegun wajahku! Tatkala pandanganku beradu dengan si
wanita, ku lihat hal yang sama terjadi juga pada dia.
“Siti!” teriakku.
“Beruang kutub!” teriaknya. Memang
kejam, sejak dulu dia panggil aku dengan panggilan itu.
Siti adalah temanku dulu, namun sudah
lama kami tak pernah bertemu. Beberapa minggu yang lalu kabarnya dia
melangsungkan pernikahan. Ada sih dia mengundangku, tapi aku tidak bisa datang soalnya
sedang di luar kota.
“Apa kabar dirimu? Wuis! Lama tak
jumpa makin besar aja tuh perut,” ledek Siti.
“Asem! Jangan sembarang bicara ya
kamu, oh iya Sit! Aku minta maaf ya ... tempo lalu ndak bisa datang ke
pernikahanmu, soalnya ....”
Belum juga ku jelaskan, Siti langsung
memotong.
“Di luar kota kan, ah! Dirimu itu sok
sibuk! Tapi tak apalah, sudah ku maafkan. Asalkan ... kamu traktir es kami
berdua ya,” kata Siti dengan tawa membuncah sembari melirik pada lelaki di
depannya. Sementara lelaki itu hanya tersenyum menanggapi kata-kata Siti.
“Oh iya, Beruang Kutub! Ini suamiku,
Ali ... kenalin,” pinta Siti padaku.
“Jeena Mas.”
“Ali.” Beralih menatap kawanku, “Kalau
Masnya siapa namanya?”
“Ahmad, Mas,” jawab kawanku dengan
suara pelan.
Oh iya! Semprul! Aku baru ingat.
Pantas saja sejak tadi wajah kawanku yang bernama Ahmad itu terlihat murung,
tak semangat, tak bergairah, dan seperti kehilangan auranya yang biasa
bersinar-sinar. Ini semua karena Siti!. Ahmad sangat menyukai Siti selama enam
tahun terakhir ini, tapi karena alasan dirinya yang selalu saja belum siap dan
belum siap Ahmad selalu saja membenamkan niatnya untuk melamar Siti. Hingga
pada akhirnya dia terpaksa harus mengubur dalam-dalam niatnya itu pada awal
April lalu, sebab Siti telah di lamar duluan oleh suaminya sekarang dan menikah
pada akhir April. Sebenarnya sih si Siti dulu pernah beberapa kali menanyakan
perihal Ahmad padaku, soal latar belakangnya, soal ini, soal itu, dan segala
sesuatu yang berbau Ahmad. Tapi hal itu aku rahasiakan dari Ahmad karena aku
juga ingin melihat bagaimana ketulusan niat dan ikhtiarnya si Ahmad sebenarnya.
Waktu terus berlalu, tak tampak sedikitpun Ahmad bergerak. Mungkin ini yang
membuat si Siti jenuh, yang pada akhirnya ia terima lamaran suaminya sekarang.
Ironisnya, ketika mengetahui dan
menerima undangan pernikahan Siti seolah Ahmad kehilangan aqidahnya. Ia banyak
mengeluh, banyak melamun, dan yang paling buat eneg diriku dia berubah menjadi seseorang
panggalau. Saban waktu setiap hari selalu saja muncul statusnya yang galau abis
di sosmed seperti facebook dan twitter. Tak ubanya remaja alay ketika
mengekspresikan perasaannya, ‘hancurlah hatiku’, ‘kau bunuh cintaku’ dan status
lainnya yang tidak jelas serta jauh dari kata tawaduk. ‘Mbok ya kalau ingin galau itu yang berseni sedikit,’ protesku dalam
hati kala itu.
Setelah kejadian itu Ahmad menghilang
entah kemana rimbanya. Hingga beberapa hari lalu dia mulai kembali SMS diriku,
dan berujung siang tadi dia paksa aku untuk menemaninya membeli es campur ini.
Sambil menoleh pada Ahmad,
“Apa kabar Ahmad?” tanya Siti.
“Alhamdulillah baik,” jawab Ahmad
dengan wajah sedikit tertunduk ke meja dan senyuman yang rada dipaksakan.
Meskipun dia berusaha menyembunyikan kegalauannya, namun raut wajahnya tak
dapat membohongi siapapun, termasuk aku. Begitu pula yang ku lihat dengan Siti,
tampak gusar dan dari nada bicaranya jelas menggambarkan ketidak enakan hati
terhadap Ahmad. Sementara Ali, suami Siti masih asyik menyedot es campur
miliknya dan aku yang terlalu fokus mengamati mereka berdua.
Tak lama, es pesanan kamipun tiba. Seorang
pelayan lelaki dengan mengenakan kemeja putih polos menghampiri dengan membawa tray yang di atasnya terdapat dua
mangkok besar es campur.
“Ini Mas, pesanannya,” seraya
menyodorkan dua mangkok es besar itu kepada aku dan kawanku.
“Terima kasih,” jawabku.
Jujur, saat itu fikiranku kacau
merancau. Seperti rujak yang di dalamnya banyak bercampur segala jenis
buah-buahan. Memikirkan psikis yang saat ini sedang dihadapi Ahmad dan Siti.
Oh! Ya Allah, inikah yang dikatakan ‘Es campur rasa Cinta dan galau.’
Entah apalagi yang bakal terjadi pada
Ahmad. Setelah kelaukannya menghilang tanpa jejak saat hatinya patah mendengar
kabar Siti telah menikah, dan kini mereka dipertemukan kembali oleh takdir. Duduk
bersanding, meski bukan di pelaminan, setidaknya dapat duduk bersebelahan. Di warung
es campur.
Mungkin setelah ini kembali kawanku
itu akan menculik diriku lagi, tapi bukan menuju ke warung es campur ini lagi. Tapi
beli racun tikus yang akan ia minum menggantikan susu yang kerap kali ia minum
sebelum beranjak tidur.
‘Hohoho,’ dalam hatiku tawaku
mengembang.
Jambi, 10 Juni 2014
selamat, anda terpilih dapat liesbter award dari saya. :D cek di sini >> http://maikhakintana.blogspot.com/2014/06/ikutan-liebster-award.html
di tunggu postingannya ;)
Gabung yuk di F*a*n*s*B*E*T*T*I*N*G
Ini pin bbmnya 5ee80afe :D
AJOQQ menyediakan 8 permainan yang terdiri dari :
Poker,Domino99 ,BandarQ,BandarPoker,Capsa,AduQ,Sakong,Bandar66 ( NEW GAME )
Ayo segera bergabung bersama kami di AJOQQ :)
Bonus : Rollingan 0.3% dan Referral 20% :)
mari segera bergabung dengan kami.....
di ajoqq^^com...
segera di add black.berry pin 58CD292C.
WwW-AJoQQ club-c0m | bonus rollingan 0,3% | bonus referral 20% | minimal deposit 15000
pin BB : 58ab14f5 , di add ya...
dijamin seru dan menghasilkan | IONQQ.
I0nQQ*C0m
agen terbesar dan terpercaya di indonesia
segera daftar dan bergabung bersama kami.
p1n bb:*58ab14f5