Ko Jeena,
Sejujurnya
aku bingung, harus memulai percakapan darimana. Takut-takut jika nanti
perkataanku melukai hatinya. Namun mau bagaimana lagi. Harus ada seseorang yang
bisa mencairkan waktu. Pada kepenatan, yang sejak tadi bungkam di ringkus hari.
Semprul..!!. seiring detak arloji yang terasa berjingkat, tak juga ku temui
sepatah kata keluar dari kerongkongannya. Terpaksa aku yang harus mengeja kata
lewat mimik wajah yang memburat buram.
“Mas..
sudah laku berapa ?” tanyaku memulai percakapan. Sembari sesekali kulirik
bawaannya. dua buah meja lipat besi yang di eratkan satu sama lain dalam satu
ikatan. hasil karya yang lumayan bagus. Namun pasti sulit terjual pikirku.
Wajar saja, orang-orang kini tidak mungkin tidak punya meja dalam rumahnya. Di
tambah selera mereka yang lebih doyan meja hasil kerajinan dari kayu ukiran.
Berkesan terlihat mewah dan klasik jika rumah mereka nimbrung barang-barang
seperti itu. Dan sebagian lagi pasti lebih tertarik pada perabotan berbau
futuristik, agar sepadan dengan rumah mereka dalam kalangan elite. Ya sudah tentu
barang-barang seperti yang di jual mas itu kurang di pertimbangkan oleh
sosialita masyarakat saat ini. Jikalaupun ada, satu atau dua orang saja. Itupun
harus di cari benar-benar pada labirin gang-gang perumahan kumuh masyarakat
menengah kebawah.
“seret
mas.. dari tadi belum ada yang laku.” Jawabnya ramah.
“sabar
mas, in syaa allah nanti terjual “ hiburku.
Senyum
tipis tersungging lewat bibirnya. Sambil mengelap peluh pada keningnya dengan
handuk usang kecil yang sejak tadi bergelayut di pundaknya.
“memang
sudah jual kemana saja mas ?” tanyaku kembali
“lumayan
jauh, dari simpang rimbo mas “ paparnya
“serius,
itu jalan kaki ? hingga kesini ?”
“ya
iya mas, memang pakai apa lagi.”
Tercekat
sudah pasti, karena kagum. Bagaimana jika aku jadi dia. Baru langkah awal
mungkin aku akan menggerutu, terseok memaki hari dan mengumpat pada profesi.
Itu jika aku, berbeda dengan sosok tegar yang ada di depanku saat ini. Dengan
berbasah peluh, terlihat jelas jika ia orang yang sabar. Berpegang harap pada
rezeki untuk sesuap nasi. Seharusnya ini yang harus kucontoh, bukan mereka yang
berdasi dan berlagak profesional padahal penjilat dan berharap gaji tinggi.
“wah..
emang nggak capek mas ?”
Mendengar
pertanyaanku, yang semula ia hanya tersenyum kemudian bertambah lebar dan akhirnya
terbahak-bahak.
“ha..ha..ha..,
mas ini ada-ada saja, ya jelas capek lah mas..” jawabnya sembari tertawa
“maaf..maaf
mas,” potongku untuk minta maaf atas pertanyaan bodohku
“pakaian
mas rapi, kemeja, kerja dimana mas ?” ia balik bertanya
”toko
bangunan mas..” jawabku singkat
Sambil
mengernyitkan dahinya, “ hah.!! Wah, mas ini bercanda lagi. Mana ada kerja di
toko bangunan pakai pakaian kemeja rapi begini. Pakai sepatu pansus. Ngeledek
ya mas ?”
“bukan..bukan,
saya tidak meledek, beneran, saya itu kerja di toko bangunan”
Sementara
ia, masih menyelidik dengan tatapan tak percaya.
”saya
kerja di toko bangunan, bagian officenya. Finance,” paparku
“ooh..
bilang dong mas, he..he.., yang saya tahukan toko bangunan ya karyawannya pakai
kaos saja, soalnya angkat-angkat juga kan.”
“tidak
semuanya juga mas, divisinya beda-beda”
Terlihat
dirinya manggut-manggut, seolah ia memahami apa yang barusan kukatakan
“berarti
enak dong mas, dalam ruangan ber-AC” tanyanya
“sama
saja mas, di dalam ruangan maupun di luar, sama-sama ada enak dan tak enaknya.”
“setuju
mas, saya meski sales begini. Saya sangat bersyukur. Meski harus berpanasan,
letih jalan kaki, namun jika kita menikmatinya maka semua akan terasa ringan
mas.”
“...”
diriku bungkam. Deru angin menusuk haru. Pada sesuatu yang barusan terdengar.
Bangga, bangga pada dirinya.
“intinya
kita itu harus ikhlas mas, iya kan mas”
“he..em”
anggukku menyetujuinya
“meski
jualan saya belum terjual satupun, harus tetap husnudzon pada Allah. Karena
Allah sudah tetapkan rezeki kita. Mungkin rezekiku ada di gang sebelah sana.”
“iya
mas, in syaa allah, disana tadi saya lihat banyak ibu-ibu sedang kumpul.
Mudah-mudahan salah satunya nanti ada yang beli.” Hiburku sekali lagi
“aamiin..”
“oh
iya mas, sudah makan ?” tanyaku
“oh,
saya puasa mas”
Dan
kini aku yang tidak percaya terhadap apa yang kudengar, hingga kupastikan
sekali lagi.
“puasa
? puasa apa, inikan rabu mas ?”
“meski
rabu, memang dilarang untuk puasa, he..he..” jawabnya setengah bercanda
“tidak
sih mas, tapi puasa apa ?” desakku
“begini
mas, rezeki dan seluruh nikmat allah itu ada pada allah, bagaimana kita
mendapatkannya jika Allah saja tidak meridhoi kita. Ini adalah ikhtiar saya,
agar Allah meridhoi apa yang saya lakukan, agar semata-mata karena Allah.”
Lagi-lagi,
sekali lagi tercekat tenggorokanku mendengar apa yang ia katakan. Sungguh besar
hati orang ini. Kesederhanaan dan kerja kerasnya dibarengi dengan ketakwaan ia
kepada Allah. dan jujur.
Aku
iri terhadap dia. Di terik siang ini, aku belajar tentang apa itu ikhlas dalam
bekerja. Ikhtiar tidak akan berbekas sedikitpun jika tidak di barengi dengan
ketakwaan itu sendiri. Takwa kepada yang maha Mengabulkan setiap keinginan,
kepada Dia yang maha kaya atas segala rahmat dan nikmatnya, kepada Dia yang
maha menentukan yang terbaik untuk hambanya. Dialah Allah. Sang pemilik siang
dan malam. Langit dan bumi. Seluruh alam semesta beserta isinya. Dialah Allah.
Yang tidak pernah tidur dan berada di Arsy nya.
Waktu.
Kembali menunjukan peranannya. Tidak cukup bagi kami untuk terus saling
menyapa. Waktu, yang mengharuskan kami berpisah saat itu juga.
Di
musholla seberang jalan ini, di siang hari yang terik, di sini kami bertemu, di
sini diriku belajar. Dari seorang sosok penjual meja lipat keliling.
Dan
di sini pula kami harus berpisah.
...
Sekembalinya
di kantor, suasana riuh kutemui tepat di depan ruang kerjaku. Ruang cukup luas
dengan di huni beberapa orang staff akunting dan kepala divisinya. Termasuk dia
adalah kepala divisiku. Hal ini rutin terjadi memang, setiap akhir bulan.
Karena seluruh pegawai antri menunggu giliran untuk menerima gaji. Semua antri
di depan pintu.
“ciyee..ciyee..,
yang mau naik gaji. Angkanya nanti jadi bengkok bang.” Canda seorang karyawati
operasional padaku ketika diriku hendak memasuki ruang kerjaku.
“aamiin”
jawabku singkat.
Sesampai
di meja kerjaku, namaku di panggil oleh kepala divisi.
“pak
sudar, kemari..” panggilnya
“iya
bu,”
“ini
pak, gajian dulu. Coba di hitung,”
Dengan
berbinar-binar kubuka amplop yang ada tepat di hadapnku. Seolah menantang, dan
amplop itu berkata di benakku. “ayo.. buka aku, buka, dan lihat apa yang ada di
dalam diriku.”
Dan
begitu terbelalaknya mataku. Yang semula berbinar mendadak menjadi masam.
Terkejut dengan apa yang kulihat di dalam ampolp itu. Sebuah kertas. Resi gaji,
dan di situ tertulis kenaikan hanya dua ratus ribu dipotong dengan jaminan
sosial yang besarnya bertambah pula. Tidak sesuai harapan, semula kenaikan
kukira akan bertubi-tubi. Karena dinilai dari masa kerja dan kenaikan Upah
regional saat ini. Tapi ternyata semua berbeda.
“maaf
bu, ini tidak salah.. ini hanya penyesuaian, lalu yang sepuluh persennya mana.”
“itukan
sudah naik.” Kilahnya
“ini
penyesuaian bu, beda antara kenaikan dan penyesuaian” bantahku
“sudah
pak. Jangan protes. Ini kebijakan perusahaan, jika bapak ada yang mau
disampaikan langsung ke bos besar.” Jelasnya sekaligus membungkam mulutku yang
mulai sedikit keram.
Ah..
kalau sudah berhadapan dengan bos besar, pasti hanya ada satu kalimat yang akan
ia katakan.
“ini
perusahaan keluarga, jika mau ambil, jika tidak silahkan cari yang lain.”
Makanya
diriku urung untuk memprotesnya.
Namun
dongkol di dalam hati sudah pasti dialami. Sembari menali temali angan yang
sekelebat memburat keluar membuncah dalam diri. Jika seperti ini terus,
bagaimana dengan cita-citaku untuk walimah ditahun ini. Sudahlah, malas
memikirkannya.
“terima
kasih bu,”
“iya
pak, ada lagi.”
“emm..
tidak bu, hanya saja, jika seperti ini, saya tidak akan lama lagi ada disini.”
Terangku, sambil berlalu, melangkah menjauh menuju ke meja kerjaku.
...
Ikhlas..
ikhlas.. ikhlas..
Memang
mudah mengatakannya, namun sulit menjalani. Itu yang kurasakan. Dan disini, bukan
masalah setia atau tidak setia pada sebuah bidang profesi, namun ini adalah
upaya untuk terus meningkatkan diri. Allah
tidak akan merubah nasib suatu kaum, jika tidak kaum itu sendiri yang
merubahnya. Dan itu yang harus ku lakukan.
Sembari
terus belajar, mengenai makna ikhlas di dalam hati. Ikhlas menerima rezeki yang
telah diberi. Dan mengejanya, agar dapat dipaparkan dalam kehidupan sehari-hari.
Jambi,
03 Februari 2014
AJOQQ menyediakan 8 permainan yang terdiri dari :
Poker,Domino99 ,BandarQ,BandarPoker,Capsa,AduQ,Sakong,Bandar66 ( NEW GAME )
Ayo segera bergabung bersama kami di AJOQQ :)
Bonus : Rollingan 0.3% dan Referral 20% :)
agen365 menyediakan game : sbobet, ibcbet, casino, togel dll
ayo segera bergabung bersama kami di agen365*com
pin bbm :2B389877