Ko Jeena
Sahabat, ini hanya sebuah coretan
ringan yang coba kurangkai dari apa yang terlihat dan apa yang kurasa serta
kutemui hari ini. Bukanlah sebuah kisah panjang tentang hidup, melainkan hanya
secuil hikmah yang yang kudapat dari guru terbaikku yang selalu mengajarkan
tentang hitam dan putih serta manis asamnya sebuah hidup. Guru itu adalah
kehidupan disekitarku sendiri.
Jujur
saja, banyak hal yang telah terlewati, namun sia-sia, karena anggapan tak
penting itu sendiri dari kehidupan yang terjalani. Bahkan kini aku tersadar
jika beberapa buah coklatpun dapat mengajarkan sesuatu yang telah lama
terlupakan dari sebuah kebenaran tentang cara kita berfikir terhadap segala
aspek tentang benar dan salah maupun baik dan buruk.
“Aku adalah sebuah biduk. Yang
melihat dari apa yang terlihat, dan menilainya berdasarkan apa yang kulihat,” awal pemikiranku.
Sore ini. Aku kembali
mengaduk-aduk album lamaku. Dari sebuah memori tantang masa lalu. Kubuka akun
jejaring sosial milik teman sewaktu SMA dulu. Teman akrab namun tidak terlalu
dekat. Tapi setidaknya untuk alasan kerja kelompok kami sangatlah kompak,
begitu kompak hingga saling mencontek saat ulangan menjadi kebiasaan yang sulit
di hilangkan.
Sungguh, itu adalah masa-masa
sekolah abu-abuku dulu. Masa yang indah kata orang, tapi begitu indah jika
menurutku. Saat ketika lulus kami semua terpisah, ada yang kuliah di jawa,
kuliah di palembang, di padang, dan kuliah di jambi sendiri, bahkan yang
langsung kerja pun ada. Jadi kami semua terpisah.
Karena kesibukan masing-masing
itulah kami semua tidak pernah berkumpul kembali, apalagi hanya sekedar
berkomunikasi, bahkan yang lebih parahnya lagi akun jejaring sosialpun banyak
yang mati alias tidak aktif lagi. Hingga sore ini, kerinduanku terhadap
mereka memaksa jemari untuk bersilaturahmi ke akun lama mereka. Dan disana
pula, aku temui album-album kisah lama. Saat kami semua bersama-sama, tertawa
gembira, meloncat bahagia di dalam taman kota.
Satu persatu ku lucuti album foto
mereka, seketika aku menjadi terkesima. Tatkala pandanganku tertaut pada sebuah
foto usang, hasil dari masa lalu. Dengan sosok seorang kawan lama, tidak
terlalu cukup dikenal karena dia tidak aktif dalam organisasi kesiswaan seperti
diriku. Tapi ada satu hal yang ia lakukan dulu, sebuah keisengan kupikir waktu
itu, namun mengandung sebuah arti mendalam. Sayangnya makna itu baru dapat
kuartikan sekarang, saat diriku benar-benar menjadi korban dari pola pikir
keliru. Tentang cara menilai siapa diriku.
Waktu itu, aku di panggilnya
mendekat dengan dirinya. Setelah mendekat, di hadapanku telah disiapkan olehnya
dua buah kotak yang terbungkus oleh karton berbeda. Kotak pertama di bungkus
rapi dengan karton biru muda, sementara kotak kedua di bungkus dengan karton
warna merah muda yang sudah lecek basah karena air dan kotor pula. Bingung
maksudnya menyodorkan kotak itu padaku, akhirnya kutanyakan tujuannya apa.
Namun dia hanya tersenyum simpul,
sembari memerintahkan diriku untuk memilih salah satu darinya. Katanya itu
hadiah darinya untuk teman baiknya, yaitu aku. Dengan melihat kondisi dua buah
kotak kecil yang berbungkus karton yang jauh berbeda, sontak saja aku memilih
kotak warna biru muda. Terlihat rapi, bersih, dan ku yakin di dalamnya
juga sesuai. Itu pendapat dalam benakku. Ketika aku memilih yang biru muda, ia
segera tarik kotak lecek warna merah jambu itu kedalam genggamannya. Disuruhnya
aku membukanya, saat kubuka ternyata isinya satu buah coklat beng-beng.
Sementara kotak yang ia pegang ketika dibuka ternyata isinya dua coklat.
Aku minta tukar dia menolaknya,
seraya tersenyum dan berkata, “Makanlah.”
Benar-benar tak mengerti aku
maksudnya tempo itu. Ketika ku tanya ia sama sekali tak menjawab. Yang aku tahu
saat itu aku lapar eh.. di kasih coklat satu. Lumayan. Alhamdulillah.
Namun kini, saat aku
mengudek-udek album lama itu. Aku baru mengerti. Jika maksud dua kotak itu
adalah pola pikirku. Bagaimana mungkin dia yang pendiam saat itu sudah
memikirkan tentang itu. “Hebat” desisku dalam hati. Sepertinya waktu itu dia
memahami siapa aku, aku terlalu melihat sesuatu dari apa yang kulihat, dan
menilainya berdasarkan apa yang terlihat.
Sama seperti kotak itu, karena
kotak itu rapi bersih dan indah itu yang mebuat aku memilihnya, tanpa
mengetahui apa yang ada di dalamnya. Padahal bisa saja aku menggoncangnya
terlebih dulu agar aku bisa menilai apa yang terkandung di dalamnya, toh dia
tidak melarangku untuk melakukannya. Sungguh selama ini aku salah menilai
sesuatu, diriku terlalu cepat menilai apa yang belum tepat ku ketahui dalamnya
karena hanya melihat luarnya saja.
Seperti saat kumenilai dirinya,
aku terlalu sibuk mencari kesempurnaan dari apa yang dapat kulihat. Namun sama
sekali tidak peka terhadap apa yang tidak bisa kulihat lewat mata, dan hal itu
hanya bisa terlihat lewat hati. Itu dalamnya, aku telah tertipu oleh mata
selama bertahun-tahun. Pola berfikirku masih di tentukan oleh cangkang yang
indah, meski dalamnya kopong tak berisi. Jika saja sejak lama telah kupahami
itu, mungkin aku tidak kehilangan sebuah keindahan tak ternilai. saat kebodohan
pola berfikir mengambil alih perannya untuk memilih keindahan yang justru itu
hanya dusta. Hingga dia pergi, dan tak mungkin ingin kembali.
“nilailah sesuatu dari apa yang
tak bisa terlihat oleh mata, bukan apa yang terlihat oleh mata. Mata itu
penipu, ia akan membodohimu” _Ko Jeena_
Andai saja. Kini dia bisa mendengar
apa yang ingin ku katakan. Tentang kesalahan dari sebuah penilaian. Mungkin aku
akan teriak, “Maafkan aku..!! aku salah menilaimu.”
Agar dia mengerti. Dan mau balik
pula menilaiku, bukan dari mata, tapi dari hati. Karena apa yang akan dia lihat
pada diriku kini, sama seperti apa yang kulihat darinya tempo dulu. Diriku
bukanlah sebuah keindahan yang terlihat oleh mata, namun aku percaya dan yakin
jika aku berbeda ... tidaklah sama seperti aku yang dahulu. Jika saja ia mau
melihat menggunakan hatinya dan bukan dengan matanya.
Salam bahagia,
agen365 menyediakan game : sbobet, ibcbet, casino, togel dll
ayo segera bergabung bersama kami di agen365*com
pin bbm :2B389877