Emansipasi Kini, Masih Pantaskah?

Ko Jeena
Memaknai emansipasi sendiri bukanlah suatu hal yang sangat mudah, seperti ketika kita membalikkan telapak tangan. Banyak yang harus dipertimbangkan. Seperti halnya saat kita menilai sesuatu dari sudut pandang masing-masing, maka akan timbul keragaman defenisi yang tergambarkan dalam bentuk pola pikir berupa dogma yang tercetus di dalamnya.

Takutnya, ketika kita keliru dalam menemukan esensi yang sesungguhnya dari makna emansipasi itu. Kita malah akan terjerat dalam kesalahkaprahan tentang arti kebebasan sebagai seorang wanita.
Istilah emansipasi sendiri diambil dari Bahasa Latin ‘emancipatio’ yang artinya pembebasan dari tangan kekuasaan. Sementara emansipasi wanita adalah memperjuangkan agar wanita bisa memilih dan menentukan nasib sendiri dan mampu membuat keputusan sendiri.
Jika ditilik dari sejarah awal mulanya emansipasi wanita. Gerakan ini lahir akibat rasa ‘frustasi’ dan ‘dendam’ dengan gaya kehidupan barat yang sangat tidak memihak kaum wanita. Supremasi masyarakat yang feodal pada abad ke-18 di Eropa dan dominasi filsafat yang cenderung meremehkan dan melecehkan kaum wanita, telah ikut andil menyulut kemarahan kaum wanita untuk menyuarakan gagasan-gagasan tentang emansipasi. Tuntutan persamaan, kebebasan, dan pemberdayaan hak-hak wanita terus diletupkan seiring dengan semangat pemberontakan terhadap dominasi kekuasaan pada saat itu oleh para pemikir ilmu pengetahuan. Pemberontakan besar-besaran inilah yang lebih kita kenal sebagai masa renaissance (revolusi ilmu pengetahuan).
Sebelumnya, jauh sebelum masa renaissance pernah terjadi. Pada tahun 570 Masehi, tak hanya di Eropa, namun di jazirah Arabpun wanita hanya sebuah simbol dan berada di pasa strata sosial paling rendah. Bahkan keberadaan mereka dianggap sebagai sebuah aib, hingga ketika lahir bayi perempuan maka satu-satunya jalan yang ditempuh masyarakat kala itu adalah menguburnya hidup-hidup. Sementara di Romawi dan Persia, wanita hanya sebagai alat persembahan untuk dikorbankan pada dewa-dewa mereka dan juga sebagai alat pemuas nafsu prajurit ketika tidak dalam keadaan berperang.
Keadaan di Arab setelah itu mulai berubah, ketika Muhammad SAW menjadi Nabi. Beliau sebagai Nabi besar sekaligus Rasul utusan Allah SWT, mengangkat derajat kaum wanita hingga tak lagi menjadi makhluk yang dihinakan di mata setiap kaum Adam. Namun sayangnya, kemuliaan wanita tersebut masih berlaku hanya pada wilayah jazirah Arab. Tempat dimana Islam berjaya dan berkembang pesat pada masanya. Sementara di Perancis tahun 586 Masehi diadakan sidang dan masih membahas perihal wanita itu manusia atau bukan.
Setelah masa renaissance berlalu, perjuangan untuk menohokkan persamaan hak bagi kaum wanita tak hanya berhenti sebatas itu. Perjuangan-perjuangan masih berlangsung disetiap belahan dunia hingga merebak di Indonesia pula pada kisaran tahun 1900an era pemerintahan Soekarno. Hal itu dipelopori oleh tokoh kebangkitan wanita yaitu Raden Ajeng Kartini atau yang lebih akrab kita sapa ‘Kartini’. Seorang wanita bersahaja yang dilahirkan dalam sebuah keluarga bangsawan Jawa, ketika Jawa masih menjadi bagian dari koloni Belanda, Hindia Belanda. Putri dari Raden Mas Sossroningrat dan MA Ngasirah.
Kartinilah yang memperjuangkan persamaan hak wanita di Indonesia ketika ia jengah dengan kondisi perlakuan terhadap wanita pribumi di Indonesia. Dia menilai hak yang diperoleh wanita pribumi tak sebanding dengan apa yang bisa dilakukan mereka sebagai manusia yang memiliki asas yang sama.
Sebenarnya, sebagai keluarga bangsawan ayah dan ibu Kartini bisa memberikan pendidikan yang layak kepada Kartini. Namun pendidikan itu hanya dihadirkan hingga Kartini berusia 12 tahun saja, mengingat itu adalah ketetapan mutlak bagi seluruh keluarga bangsawan termasuk keluarga Kartini saat itu. Setelah dia berumur 12 tahun ia 'diasingkan' di rumah. Sebuah praktek umum di kalangan bangsawan Jawa, untuk mempersiapkan gadis-gadis muda untuk pernikahan mereka. Selama pengasingan, perempuan tidak diperbolehkan untuk meninggalkan rumah orangtua mereka sampai mereka menikah, di mana otoritas poin di atas hingga mereka dialihkan kepada suami mereka.
Selama pengasingan dirinya, Kartini terus mendidik dirinya sendiri. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, ia mendapatkan beberapa teman pena Belanda melalui surat menyuratnya. Hingga Setelah Kartini wafat, Mr JH Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama dan Industri di Hindia Timur, mengumpulkan dan menerbitkan surat-surat yang Kartini telah kirimkan kepada teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) dan diumumkan pada tahun 1911.
Pada tahun 1964, Presiden Sukarno mengumumkan tanggal lahir Kartini, 21 April, sebagai 'Hari Kartini' - sebuah hari libur nasional Indonesia.
Kembali ke cara menyikapi emansipasi itu sendiri, terlepas dari sejarah perjuangan untuk mewujudkannya. Bukankah sejak awal, yakni ketika turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW wanita telah ditinggikan derajatnya?. Bisa jadi ini malah menjadi arogansi bagi wanita yang menuntut kebebasan meskipun pada dasarnya kesamaan hak itu telah ada dan tersirat bahkan tersurat dalam Al-Qur’an.
Tidak ada yang membedakan wanita dan lelaki kecuali amal ibadahnya selama ia masih hidup di dunia. Hal ini telah ditegaskan Allah SWT dalam firmannya di surah An-nahl ayat 97.
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. An-Nahl : 97
Dan juga dalam Surah Al-Ahzaab ayat 35,
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Apabila dilihat dari dua ayat Allah yang tegas itu apakah masih bisa kita sangkal? Dan mengatakan jika sejatinya wanita masih hina jika dibandingkan dengan lelaki. Mengatakan pula jika kodrat wanita dibawah lelaki? Serta menjadikan alasan itu sebagai bentuk kekecewaan dan menuntut kesamaan. Jika iya, maka sudah seharusnya kita berfikir ulang dan mengoreksi prime berfikir kita. Bukan berarti keadaan itu yang keliru, tapi pola pikir kita yang keliru.
Yang jadi masalah, bukan karena adanya emansipasi itu sehingga wanita menuntut haknya agar setara dengan lelaki. Tapi sekali lagi adalah cara kita menyikapinya yang mestinya diluruskan. Emansipasi itu ada memang untuk menjaga derajat wanita agar tak direndahkan oleh kaum lelaki, tapi tak seharusnya pula dengan emansipasi malah menjadikan wanita merasa sama kuatnya dengan lelaki terlebih membuat lelaki takut pada wanita. Bukan itu tujuan dari emansipasi tersebut. Pria tetap lebih kuat dari wanita, karena itulah wanita wajib dilindungi dan dihargai. Diperlakukan dengan kasih sayang. Kalau wanita sama kuat dengan pria, mungkin semua pertikaian akan diselesaikan dengan otot. Dan Itulah kenapa wanita diciptakan. Tanpa wanita mungkin tak ada kedamaian di dunia ini.
Sungguh sangat disayangkan, ketika wanita salah mengartikan tentang emansipasi itu malah membuat wanita cenderung lebih rendah. Hal itu bukan semata-mata doktrin lelaki, namun fakta dewasa ini menunjukan justru wanita sendirilah yang merendahkan martabat mereka dengan dalih embel-embel emansipasi. Ini serius.
Contoh kecil tentang emansipasi wanita yang keblinger, mengenai soal pendidikan. banyak wanita berkeluarga yang mengejar pendidikan demi karir. Apa ini salah? Tentu saja tidak. Yang salah adalah ketika wanita itu melupakan kodratnya sebagai wanita, dia sudah tidak tahu lagi bagaimana cara memotong wortel, sudah lupa cara menggiling cabai, tidak tahu lagi cara mencuci pakaian dan piring, dan yang paling parah ketika wanita itu tidak tahu lagi cara memberi ASI kepada buah hatinya.
Memang benar, jika wanita yang berpendidikan tinggi akan terlihat pintar, enak dipandang karena tahu bagaimana cara berpakaian yang baik dan juga memiliki banyak rekan dan kolega. Tetapi apa bagusnya jika keelokan dan keindahan itu malah menjadikan dia jauh dari sosok seorang wanita sesuai kodratnya. Takutnya, bagi wanita yang belum berkeluarga ketika ada seorang lelaki melamarnya, dengan nada malu-malu dia akan katakan ‘aku tidak bisa apa-apa’.
Contoh lainnya pada masalah penyetaraan hak dalam bekerja dan bergaul dengan teman-temannya. Wanita kini, merasa jika lelaki bisa maka wanitapun harus bisa. Jika prinsip ini digunakan dalam hal beribadah, maka pola pikir seperti ini dibenarkan seratus persen. Namun, bagaimana dengan bekerja? Sudah seharusnya kita mengkaji ulang terhadap prinsip tersebut.
Sudah bukan menjadi hal yang tabu ketika kita semua melihat wanitapun turut bekerja. Banyak wanita-wanita super di zaman Nabipun yang bekerja. Seperti Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy yang bekerja dan berkarya dengan tangannya sendiri menjahit kulit untuk bersedekah di jalan Allah, tanpa meninggalkan kodratnya sebagai seorang istri dari Zaid bin Haritshah. Bahkan kita turut mengenal sosok Ummu Athiyyah Al Anshariyyah, seorang wanita yang ikut berbaiat kepada Rasulullah dan mengikuti perang bersama Rasulullah sebanyak tujuh kali. Rasullah sebagai orang yang paham betul akan kedudukan seorang wanita tetap memposisikan Ummu Athiyyah di barisan paling belakang meskipun dia diizinkan untuk ikut berperang layaknya seorang lelaki, ia ditugaskan hanya untuk membuat makanan bagi para prajurit dan mengobati mereka yang luka. Bayangkan saja jika Ummu Athiyyah memiliki pola pikir jika emansipasi itu berarti setara dalam segala hal, sudah tentu diapun akan menggenggam pedang dan maju pada barisan terdepan. Tapi itulah indahnya Islam. Selalu mendudukan segala perkara sesuai dengan takarannya masing-masing, termasuk masalah emansipasi ini.
Mereka adalah dua dari banyak wanita yang meskipun bekerja namun tetap tidak meninggalkan kodratnya sebagi seorang wanita. Bukankah begitu terbalik ketika kita korelasikan dengan kehidupan wanita sekarang. Ketika mereka berbondong-bondong mengejar karir, malah dengan ringan tangannya meninggalkan kewajiban dan kodrat mereka sebagai seorang wanita. Banyak wanita yang menolak lamaran seorang lelaki dengan alasan masih fokus pada karir. Banyak wanita pula yang menunda kehamilannya ketika mereka telah menikah demi profesi yang digelutinya, alasannya nyeleneh, ‘tidak ingin karirnya terganggu’. Bukankah jika sudah seperti ini maka emansipasi itu sendiri tak lebih dari sekedar lelucon yang dibuat-buat agar wanita bisa melakukan apa saja.
Lalu, apakah wanita tidak boleh bekerja? Boleh-boleh saja. Asalkan tetap pada koridornya, dan tetap berada dalam batas kewajaran kodrat dia sebagai wanita. Jika saja wanita mengambil seluruh peran pekerjaan setiap lelaki, maka lelaki mau kerja apa? Apakah lelaki yang harus memasak dan menimang bayi saat istrinya bekerja. Jika sebagian istri lebih memilih menunda kehamilan untuk karirnya, bisa jadi pula para suami akan berkata ‘ya sudah, biar lelaki yang hamil’. Aneh bukan.
Begitu pula persoalan relationship, banyak wanita zaman sekarang yang tak mau kalah dari lelaki jika sudah menyangkut asas bersosialisasi seperti ini. Baik itu sebatas pergaulan ataupun yang lebih dalam lagi yaitu soal pernikahan. Ada sebuah istilah yang jujur saja membuat telinga kaum lelaki seperti berdenging ketika mendengarnya. Lagi-lagi ini hasil pembodohan zionis dan barat agar merusak aqidah beragama setiap muslim di dunia. Poliandri. Ketika sebagian wanita berbantahan dan mengecam jahatnya poligami menurut mereka, tak sadar merebaklah istilah Poliandri yang kemunculannya sendiri berboncengan dengan istilah emansipasi ini.
Jika para suami boleh Poligami, maka para istri boleh Poliandri juga dong! Inikan emansipasi. Itu pendapat sebagian mereka. Sudah jelas itu adalah pola pikir yang salah kaprah. Poligami diperbolehkan untuk lelaki karena lelaki kodratnya memang melindungi wanita. Dan itupun tidak sembarangan para lelaki keluarkan jurus pamungkas itu. Banyak pertimbangan yang harus dipikirkan. Lah, jika lelaki yang kodratnya melindungi wanita saja tidak segampang itu untuk poligami, tapi kok kenapa ada sebagian wanita di dunia ini dengan mengatas namakan emansipasi dengan pongahnya katakan jika mereka berhak poliandri. Sungguh pemikiran yang bodoh bukan.
Begitu banyak kesalahan-kesalahan dari penyikapan terhadap emansipasi dewasa ini. sehingga sudah pastilah memaksa kita untuk harus lebih mawas diri dari bentuk penyimpangan tersebut. Adapun bentuk emansipasi yang salah jika emansipasi itu terdapat tiga unsur di dalamnya, yaitu; emansipasi yang dipengaruhi kepentingan materi, emansipasi yang menghilangkan nilai agama dari kehidupan, dan emansipasi yang mengkesampingkan kodrat dan tanggung jawab dia sebagai wanita.
Bagaimana menyikapi emansipasi?. Sebelumnya, mari kita coba analogikan emansipasi ini sebagai buah durian. Ada banyak jenis durian, dua diantaranya adalah durian Monthong dan durian Petruk. Meskipun kita melihat kedua durian ini sama, sama-sama berduri dan buahnya agak lonjong, namun sebenarnya dua durian ini jauh berbeda. Coba saja ketika kita kupas kulitnya dan lihat daging buahnya, maka jelas keduanya berbeda. Warna daging buah durian petruk yang lebih kuning pekat, tekstur, dan rasa keduanyapun berbeda. Kesimpulannya, walaupun keduanya sama sama durian, tapi kesamaan itu tak lantas membuat kemiripan dan keidentikan keduanya menjadi persis serupa.
Sama halnya dengan emansipasi,  meskipun wanita dan lelaki itu sama-sama manusia, namun hak dan kewajibannya tidak harus selalu sama. Persamaan itu tidak sama dengan keidentikan. Sesuatu yang sama belum tentu identik. Yang dimaksud persamaan itu lebih cenderung selaras dengan kesederajatan dan kesebandingan. Yaitu ketika seseorang telah menerima hak dan melaksanakan kewajiban sesuai dengan batasan kodratnya maka hal itu sudah dikatakan sebagai kesederajatan atau kesebandingan. Sementara keidentikan sendiri adalah sama persis, dan inilah yang dijadikan acuan oleh para wanita sebagai tuntutan untuk menyamai kodrat lelaki dalam bayang-bayang emansipasi yang salah.
Sebagai seorang wanita yang cerdas, berakhlak, dan beriman. Sudah sewajarnya untuk dapat memposisikan diri sesuai dengan tempat seharusnya dia berpijak. Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits adalah salah satu cara untuk tetap berada di posisinya masing-masing tanpa mengurangi sedikitpun hak dan kewajiban setiap insan. Karena sesungguhnya persamaan dan keselarasan hak itu telah lama diatur oleh Islam jika saja kita semua dapat membuka hati dan pikiran untuk dapat menerimanya. Dengan memahami esensi yang tepat mengenai emansipasi, diharapkan setiap pribadi dapat menjadikan pemahaman itu sebagai bekal dan tameng dalam membentengi diri dari berbagai macam kerancuan pola pikir di era modern seperti saat ini. Agar kita semua dapat terhindar dari usaha-usaha pihak manapun dalam upaya pendangkalan aqidah kita sebagai seorang muslim.
Semoga bermanfaat.
Jambi, 13 April 2014


1 komentar:

  1. miao sai mengatakan...

    agen365 menyediakan game : sbobet, ibcbet, casino, togel dll
    ayo segera bergabung bersama kami di agen365*com
    pin bbm :2B389877

Posting Komentar