Preman Juga Punya Hati
Ko Jeena
Jam makan
siang kali ini tak seperti biasanya. Entah kenapa hasrat untuk makan diluar
mendadak keluar begitu saja. Padahal hari-hari lalu kebanyakan aku membawa bekal
sendiri dari rumah. Alasannya pasti lebih hemat, praktis, dan otomatis agar
gaji bulanan dapat ditabung untuk Ibadah lainnya (Walimah).
Ceritanya
dimulai siang ini. Saat jam di monitor sudah menunjukan pukul 12.00. sesegera
mungkin kuambil kunci motor yang sengaja ditaruh di dalam laci. Perut ini sudah
tidak tahan, pikirku. Maklum, inilah penyakit si perut besar. Pembawaannya itu
selalu lapar dan lapar. Padahal dipagi hari kerap kuganjal dengan satu piring
full nasi goreng. Tapi masih saja begitu lapar ketika siang hari. Shaum? Ya itu
alternatif yang baik untuk kesehatan tubuh, daripada harus takluk oleh nafsu
makan yang begitu besar.
Tapi seperti
inilah diri, dengan dalil “masih penyesuaian” aku hantam saja menikmati hidup
tanpa puasa. Alhasil dengan kondisi keimanan yang masih rentan ini aku hanya
sanggup puasa senin kamis saja. Itupun jika ingat. Karena pernah suatu hari,
padahal aku niat puasa ketika malamnya, namun saat masuk waktu pagi hari aku
hajar sarapan nasi goreng sepiring penuh. Ketika selesai di iringi tema
sendawa, aku baru ingat. “oh iya Aku lupa. Aku puasa.” Keseringan seperti itu.
Dalam hati memang pernah terniat untuk puasa Daud, namun sisi hati lain
sepertinya lebih menang ketika manancapkan prime berfikir, “nanti sajalah.. Kau
belum kuat, senin kamis saja dulu.” Dan akhirnya baru sebatas itulah
kesanggupan.
Dengan
keadaan perut yang berdesis karena lapar, kupaksakan kaki ini menghambur
secepatnya keluar ruangan kerja. Mencari tempat makan terdekat, yang murah,
tapi banyak (Aku banget). Akhirnya dapatlah tempat makan yang sesuai dengan
budget kantong ini. Uni penjual Mie ayam dan bakso. Segera Aku pesan menu
termurah diantara deretan daftar makanan di lembaran menu.
“Uni, Aku
pesan Mie ayamnya ya.. Mie nya banyakin, pakai Bakso telornya satu. Minumnya
air putih saja, yang hangat ya.” Pesanku pada pemilik warung itu.
Pastilah aku
tak sembarangan pesan, sebelum memesan aku perhitungkan dulu Budget dengan
harga yang bakal kubayar nantinya. Dengan menggunakan kemampuan akunting yang
masih sangat fakir ilmu, akhirnya kudapati saldo akhir itu tinggal tujuh ratus
rupiah. Setelah dipotong debet khusus biaya makan siang ini.
“kamu
makannya mau murah, tapi banyak.. Dar.. dar..” kritik Uni padaku. Uni
mengenalku, karena memang sesekali aku kerap makan ditempatnya. Mudah dikenali.
Sebab orang seperti diriku langka. He he, aneh, tapi itu fakta.
Kulihat ke
sekeliling. Tak tampak banyak pembeli siang ini. Beda dari biasanya. Pada
hari-hari lalu biasanya warung Uni begitu penuh, hingga untuk mengambil Kecap
dan saos pun harus berdesak-desakan. Setiap meja memang disediakan satu, namun
karena ramai itu terkadang satu meja menumpuk semua cabai, saos, dan kecapnya
disitu.
“Tumben sepi
Ni?.” Tanyaku pada Uni yang sedari tadi asyik bersikutat dengan racikan mienya.
“Iya Dar..
maklum, tanggal tua. Banyak yang bawa bekal kali.” Jawab Uni singkat
Sementara
aku hanya meng ‘O’ kan saja dan tetap pada sikap awal. Menunggu mie nya siap
dan sesegera mungkin Aku santap.
Tak
berselang lama dari itu. Datang seorang pembeli lainnya. Rambutnya gondrong,
Brewok dan kumis berserakan di wajahnya, kaos oblong, dan celana jeans yang
bolong di lututnya. Wah pasti preman pikirku. Ah tak masalahlah, toh tujuan dia
ingin makan mungkin, dan aku juga makan. Kami tak saling kenal, jadi tak ada
yang perlu dikhawatirkan. Tapi bagaimana kalau dia memalak? Bagaimana kalau dia
todongkan pisau atau semacamnya kepadaku?. Sejenak kekhawatiran itu memang
datang, tapi sesegera mungkin diusir keluar dari kepala. “Husdnuzon sudar”
tenangku dalam hati.
Seketika dia
duduk. Duduknya sih tidak jadi masalah, yang jadi masalah kenapa dia duduk di
hadapanku. Padahal meja lainnya banyak kosong. “Wah benar nih, pasti dia ingin
macam-macam” pikiran itu datang lagi. Tatapannya tajam menguliti. “kalau di
enjleb pakai belati bahaya nih, Bisa kempes perut ini” Pikirku lagi.
Tak menunggu
lama, Mie ayamku pun datang juga.
Sebaiknya
aku harus beramah tamah terhadap dirinya. Menawarkan saja cukuplah, karena
sopan santun ketika makan mengajarkan kita untuk menawarkan orang di hadapan
kita untuk makan. Meski niatnya tidak untuk membelikan.
“Bang, makan
bang?.” Ramah tamahku untuk cairkan suasana.
Awalnya aku
berpikir ia akan menjawab, “silahkan” atau “tidak, terima kasih” atau sejenisnya
yang maksudnya untuk menolak karena tidak enak atau sungkan. Tapi ternyata apa
yang kudengar itu berbeda. Sekonyong-konyong dia mengiyakan ajakanku yang
semula itu hanya keramah-tamahan basi saja.
“wah boleh
nih.. Mak!, saya pesan Mie ayam tambah Bakso urat ya.. kuahnya yang
banyak, mie nya juga banyakin.” Pintanya ke penjual.
Semprul!.
Tak kuduga tak kusangka dia akan mengiyakannya. Bukan maksud hati pelit, tak
mau berbagi atau kejamnya mengingkari pentingnya sedekah itu sendiri. Yang jadi
masalah itu “Uangnya.” Darimana uangnya. Sudah aku katakan jika berdasarkan
hitungan uangku hanya bisa membeli satu porsi saja, dan itu milikku. Lah kalau
orang ini juga pesan, lalu bagaimana? Siapa yang bayar? Sudah pasti itu aku.
Tapi bagaimana? Hutang?.
Dengan dongkolnya
aku paksakan bibir ini melebar untuk tersenyum. Meski terkesan meringis getir
karena menahan hasrat didiri ingin menjambak rambut gondrongnya, tapi masalah
lain aku juga takut di enjleb pakai belati atau badik di celananya kalau dia
bawa. Ini preman sepertinya benar-banar tidak waras, tidak tahu malu! Hardikku
dalam hati.
“Ini bang
Mie nya.” Kata Penjual itu seraya menyodorkan semangkok penuh Mie ayam spesial
bakso urat kepada Lelaki urakan itu.
“Mantap ini
Mak!.” Pekik lelaki itu sembari menyambar mangkok itu dan mengaduk-aduk isinya.
Tak
tanggung-tanggung selesat proyektil ia sambar saos tomat, saos cabai, dan kecap
di depanku. “Croott!, Crooooottt!, Cruooooooooottt!” dia tuangkan
ketiga-tiganya memenuhi permukaan mangkok. Hingga tak terlihat lagi gelundungan
bakso urat yang terselip di timbunan Mie tersebut. Mangkoknya terlihat penuh.
Sepertinya belumlah cukup, hingga ia rebut pula cabai hijau yang berada di
depan sebelah kanan. Satu sendok, dua sendok, dan pada sendok ketiga menggunung
cabai itu memenuhi wajah sendok makan miliknya. “flop!, sleb!” kembali dia aduk
adonan mie ayam itu, terkesan berat adukannya karena mangkok yang terlanjur
penuh. Melihat itu tak serta merta selera makanku berada pada puncak hasratnya,
yang ada malah gairah makan anjlok pada lantai sebawah-bawahnya basement.
Akupun mulai eneg.
Tidak pakai
doa dan basa-basi menawarkan kepada diriku, dia langsung saja main hajar. Di
sruputnya kuah mie ayam yang telah mengental bercampur anekaragam saos.
“Slurup! Sruuttt!” sambung menyambung pula Mie itu masuk kedalam mulutnya.
Seakan ditarik oleh vacum cleaner, sekejap mie itu lenyap kedalam perutnya.
Sementara diriku tak mampu untuk mengimbangi cara makannya. Padahal biasanya
jika untuk adu cepat-cepatan makan aku bisa jadi juara mengalahkan sejawat
kerja yang notabene nya kurus-kurus seperti cacing. Tapi untuk kali ini aku
rasa aku mengalah.
Tak beberapa
lama kemudian dia pun selesai makan mie miliknya, meninggalkan diriku yang
overlap sejak tadi.
“Heeeeeeekkkk!
Ah! Legaaa.”
Yang kurang
ajarnya dia hentikan agenda makan itu pakai seremoni penutupan “Sendawa.” Besar
sekali seperti Babi hutan yang ngos-ngosan saat berlari menghindari seringai
mata para pemburu. Benar-benar jijik aku dibuatnya. Terpaksa saat itu juga
kuhentikan acara makan siangku. Yang semula aku kira akan damai sentosa, eh
ternyata malah dapat suasanan tak menyenangkan seperti ini.
“Tak
dihabiskan Bro?!” tanyanya sembari menoleh kepadaku.
“Aku kenyang
bang.” Jawabku
“Sayanglah itu.
Nanti Ayam tetangga kau mati. Kalau tak kau habiskan mie nya.” Sambungnya
kemudian
Pikirku
dalam hati, apa hubungannya tidak habiskan makanan dengan kematian ayam
tetangga. Ingin kubantah, tapi nantilah. Mengangguk-angguk saja dulu biar dia
senang.
“Tak apa lah
bang.”
“oh”
responnya singkat sambil mencungkil-cungkil giginya dengan jari kelingking.
Kemudian sisa makanan di gigi yang tercungkil ia plintir-plintir menggunakan
jemarinya, dan “tuing!” ia selentik sejauh-jauhnya ke arah kirinya. Hingga sisa
makanan itu menempel pada pakaian di bagian punggung si penjual. Aku yang
melihatnya hanya diam saja.
Mendadak
terkesiap diri ini. Oh iya bagaimana bayarnya? Bagaimana? Pikirku bingung dalam
hati. Benar-benar semprul ini preman. Tak hilang akal sesegera ku telpon Teman
kantor. Minta bantuan dia. Setidaknya uangnya masih cukup banyak daripada
diriku, sehingga dia bisa susul aku disini dan meminjamkannya. Sambil merogoh
Hape di saku celana aku beranjak sedikit menjauh membelakanginya, khawatir jika
preman itu mendengar percakapanku.
“Terimakasih
sob.” Kataku mengakhiri perbincangan di Hape dengan nada sedikit membisik.
Alhamdulillah.
Dapat suntikan dana. Dari teman Sekantor, walau masih dibilang hutang juga,
tapi tidak memalukan di depan orang menyebalkan di depan mata.
Ketika Aku
membalikan badan.
Busyeeet!.
Memang benar-benar kurang ajar nih Preman urakan. Sudah makan banyak langsung
kabur!. Tidak tahu diri! bagaimana tidak keki diriku. Rasanya ingin aku
hempaskan saja satu-satunya Hape butut milikku, tapi sayang tak ada gantinya.
Dengan hati bergelora amarah kekesalan terhadap diri preman itu. Kuhampiri Uni
penjual Mie ayam. Bukan mau menghajar, tapi mau tanya berapa bayaran.
“Uni, Berapa
semuanya.” Tanyaku masih dengan kondisi hati berapi-api.
“Tidak usah
lagi kau bayar Dar, sudah dibayar sama lelaki urakan itu, punyamu juga. Barusan
saja. Kemudian dia pergi naik angkot yang dicegatnya di depan.” Papar Penjual
singkat.
Jedeeerr!
Glek!
Hati yang
semula berapi-api kini sejurus membeku. Dingin sekali. Hingga rontokan setiap
sel dalam pembuluh darah. Bagaimana bisa? Yang sejak tadi bersuudzon terhadap
orang di depanku, malah dia yang membayarkan makan ini. Bagaimana bisa ?
Terlalu cepat ambil kesimpulan dari apa yang terlihat saja. Bagaimana bisa? Kepongahanku
kini menduri sendiri dalam jiwaku. Kepongahan itu seketika menjadi
lelehan-lelehan hati, dalam bentuk Malu.
Jujur, Aku
malu.
Mata sialan!
Lagi-lagi dia menipu hatiku. Berkali-kali jua tak dapat aku belajar dari
pengalaman lalu. Jika Mata itu penipu!. Seharusnya kau bisa melihat sejauh apa
yang tak bisa dilihat olah mata. Yaitu dengan hati. Dan ini benar-benar
terulang lagi. “Don’t See anything from the Cover” sayup mayup ku dengar itu
membuncah kembali dalam benak berkarat. Aku sudah lupa!
Dengan
banyak terhempas malu ku berusaha kejar lelaki Preman urakan itu. Berlari
keluar. Ingin kudedah mulut ini agar meminta maaf kepadanya, atau setidaknya
berterima kasih atas traktirannya. Namun tak kudapati dia. Dia telah jauh.
Hanya bayangannya yang samar tertinggal di sepanjang jalan bersama knalpot
angkot mengebul zaman.
Bersama
bunyi adzan dzuhur. Aku seperti dihajar!. Malu bukan kepalang.
Jambi, 15
Maret 2014
AJOQQ menyediakan 8 permainan yang terdiri dari :
Poker,Domino99 ,BandarQ,BandarPoker,Capsa,AduQ,Sakong,Bandar66 ( NEW GAME )
Ayo segera bergabung bersama kami di AJOQQ :)
Bonus : Rollingan 0.3% dan Referral 20% :)
agen365 menyediakan game : sbobet, ibcbet, casino, togel dll
ayo segera bergabung bersama kami di agen365*com
pin bbm :2B389877