Ko Jeena,
Masa-masa saat ini memang merupakan masa yang rentan dibully. Bagaimana tidak, ketika umur
sudah dikatakan matang namun tak juga aku ambil keputusan untuk mengakhiri masa
lajangku. Maaf, bukan karena tak laku ya ... sekali lagi bukan! Garis bawahi
itu. Namun karena sesuatu hal yang aku juga tidak tahu apa, dengan dalih ‘belum
siap’ aku terus saja melenggang menikmati masa sendiriku. Soal kharismatik tak
perlu diragukan, tapi cukup dipertanyakan saja! Hahaha ... sial! Maksudku
sekali lirik, oke sajalah. Sebagai catatan, itu untuk Orang Utan.
Intinya, sejak awal aku memiliki prinsip pribadi.
Lelaki harus punya prinsip! Iya toh. Aku ingin menikah ketika usiaku genap
menginjak angka dua puluh lima. Biar hoki? Oh tidak, yang benar karena aku
ingin mengikuti Rasullullah ketika ia menikah, yakni usia dua puluh lima tahun.
Dan usiaku menginjak bilangan itu pada akhir tahun nanti, so ... in syaa Allah,
jika Allah meridhoi maka prinsip itu akan terpenuhi.
Namun sekali menginjak lingkaran bully ya tetap
dibully. Soalnya kata abangku yang di Medan sana, ini adalah masa ketika aku harus
dibully. Mau tidak mau ya harus mau. Loh! Kok?. ‘sudah ... kamu itu harus taat tanpa pakai tapi’ kata abangku itu
meyakinkan. Tidak hanya dia, teman, sahabat, saudara, bahkan ibuku sendiripun
kerap sekali ikut dalam rangka manas-manasin. Ini serius.
“Kapan kamu kawin Nak, ibu itu sudah pingin gendong
cucu,” tanya ibuku keseribu kalinya.
Mendengar itu sontak aku kaget. Yang tadinya aku
sedang serius main Playstation dengan adikku yang baru SMP kelas satu, mendadak
hampir keselek kabel colokan listrik.
“Hah! Ibu kok ngomongin cucu? Boro-boro cucu Bu, nikah
saja belum,” jelasku dengan mulut manyun lima senti.
“Ya makanya kamu nikahlah ... lihat kawan-kawanmu itu
sudah pada nikah semua.”
“Ndak semua loh Bu, itu contohnya si Ido. Padahal uang
dari hasil membuat cincin dan kalung emas miliknya banyak, tapi toh melajang
juga sampai sekarang,” kataku berusaha memberikan pembanding.
“Ya kamu jangan ikut-ikutan dong, yang baik baru
diikuti kalau yang jelek jangan diikuti,” jelas Ibuku.
“Tapikan dia baik Bu, ibu tahu sendiri dia baik.”
“Iya baik, tapi bukan itu maksud ibu, coba contoh
kawan-kawanmu yang sudah nikah itu, apa kamu ndak kepingin?”
“Nantilah ibu sayang, nanti waktunya tiba juga kok,”
kataku singkat dan kembali lagi fokus bermain game dengan adikku.
“Sampai kapan? Tunggu ibu sakit dulu!” jawab ibuku
ketus sembari berjalan menuju kamarnya.
“Loh, ibu kok ngomongnya gitu?”
Aku balik bertanya. Tapi ibu yang sudah masuk ke dalam
kamar tak menghiraukan pertanyaanku. Beberapa saat lamanya tetap tak dijawab.
Hal semacam ini kerap sekali terjadi. Dari
perbincangan-perbincangan ringan, tiba-tiba berujung ke arah situ. Dari
membicarakan isu politik para capres menjelang pemilu saat ini, nanti pasti
perlahan-lahan mengarah ke arah yang sama. Hingga ketika ibu meminta pendapat
mengenai menu masakan hari ini, pasti mengarah juga pada keinginannya agar aku
segera menikah. Salah satu alasan pamungkasnya ya ... menu ini. Ibu merasa ndak
cocok dan nyambung kalau berbicara denganku membahas menu masakan, karena
seleraku biasanya yang itu-itu saja dan pastinya aku akan berpendapat tentang
menu kesukaanku saja.
‘cepatlah menikah
Jeena, agar ibu bisa berdiskusi dengan istrimu nanti soal masakan’ itu kata ibu saat membahas menu makanan. Maklum saja, kami
sekeluarga hanya ibu yang wanitanya. Kata ibu, ketika dulu dia mengandung adik,
dia sangat berharap yang lahir wanita jadi bisa diajak bicara ngalor ngidul
soal wanita. Eh ternyata yang lahir malah lelaki juga. Saat bapak masih dengan
ibu biasanya dulu mereka menjadi team diskusi, namun setelah pisah jika urusan
meminta pendapat jadi tanggung jawabku pada ibu. Meski kerap kali pendapatku
tidak pernah dipakai dan ibu lebih mementingkan pendapatnya sendiri, hehe.
Bagaimanapun juga, tetap dialah wanita yang paling aku sayangi di dunia ini.
Letih bermain game, kucoba baringkan tubuhku sebentar.
Ah, rasanya nyaman sekali meski alas hanya serupa ambal kumal tempat tidurku
ketika malam. Di rumah tidak ada springbed
empuk, hanya ambal ini saja sudah bersyukur.
Memikirkan soal jodoh memang tidak ada habisnya. Kita
tidak akan pernah tahu kapan, dimana, dan bagaimana jodoh itu ketemu. Intinya
serahkan semuanya kepada Allah karena Dia Maha menentukan yang terbaik untuk
hambanya. Perlahan, mata ini mengantuk. Sedikit demi sedikit pandangan menjadi
gelap. Benar-benar gelap.
Drrtt ... Drrt ... Drrrt!!!
Mendadak ponselku bergetar. Memang tanpa nada dering
karena sengaja dimatikan. Susah payah kugapai di saku celana dan ternyata itu
adalah tanda jika ada pesan masuk. Sebuah pesan dari seseorang yang tak asing
lagi.
Sender : Fa
‘Assalamualaikum
Kak, apa kabar?’ pesan itu berbunyi.
Tanpa pikir panjang segera kubalas dengan senyum yang
tentunya merekah di wajah ini.
‘Waalaikumsalam ... alhamdulillah
baik Dik, dirimu dan keluarga sendiri bagaimana?’ balasku
‘Alhamdulillah baik
juga Kak, keluarga juga baik,’
‘Syukur kalau begitu,
ada apa Dik, tumben SMS,’ tanyaku
‘Begini Kak, emm ...
adik cuma sampaikan pesan bapak, kakak diundang bapak datang ke rumah sore ini
untuk buka bersama, bisa?’
Sungguh, tak dinyana-nyana diri ini bagai kesamber
gledek satu juta volt. Rasanya itu bukan lagi ke tulang, tapi ke hati. Serius.
Bingung mengekspresikan rasa ini seperti apa, apakah harus teriak sambil
guling-guling atau guling-guling sambil teriak. Yang pasti begitu bahagianya
diri saat ini sampai-sampai tak sadar sudah tiga lalat hinggap di mulut karena
lupa menutup mulut saat bengong.
Karena belum begitu percaya dengan pesan yang kubaca
barusan, untuk kelima kalinya kubaca ulang pesan darinya. Takut-takut jika ini
hanya halusinasi dan mendadak isi pesan itu berubah. Tapi beberapa detik
kuamati untuk terakhir kalinya tak ada yang berubah, susunan huruf masih sama
dengan akhir pesan yang disematkan emoticon senyuman. Ah! ini nyata.
Segera kupaksakan jemari ini mengetik pesan balasan,
meski masih gemetar dengan apa yang terjadi barusan.
‘Serius? Adik ndak
bercanda kan?’ tanyaku
untuk meyakinkan diri ini.
‘Serius Kak, itu kata
bapak, adik harap sebelum maghrib kakak sudah datang kerumah.’
Tak kubalas lagi pesan itu. Kali ini aku benar-benar
bahagia hingga refleks aku teriak sekencang-kencangnya.
“Ibuuuu....!!!!! Anakmu akhirnya kawin Bu....!!!!!!”
teriakku.
Gubraakkk!!! Pintu kamar mendadak terbanting terbuka.
Ibuku keluar dengan roman penuh tanda tanya. Karena penasaran, beliaupun
bertanya.
“Jeena! Kenapa kamu teriak-teriak! Didengar tetangga
malu tahu!”
“Biar saja dunia tahu Bu....!!! anakmu ini J ... E ...
E ... N ... A ... Bakal kawin Bu.!!” Jelasku dengan wajah berbinar-binar karena
senang.
Mendengar itu pula, ibuku yang semula bersungut
menjadi bercahaya. Wajahnya semakin indah dengan senyumnya. Seketika diapun
melompat kegirangan melihat anaknya terlepas dari kutukan ‘Bujanghiddin’. Kami
berduapun melompat penuh kegembiraan.
“Kapan kamu nikahnya Jeena?!” tanya ibuku.
“Belum tahu Bu, intinya nanti sore anakmu ini diundang
oleh bapaknya wanita yang selama ini aku cintai Bu, buka bersama ... antara aku
dan keluarga wanita itu, rasanya pintu restu telah terbuka lebar,” jelasku.
“Bagus ... Bagus ... Jeena! Itu berita bagus!!!
Sekarang bergegaslah kamu agar tidak telat! Sebentar lagi mau maghrib, mandi
sana biar ibu siapkan baju terbaikmu agar dapat kamu kenakan.”
“Siiap!!! Bu,” jawabku mantap.
Dua puluh menit kemudian, setelah semuanya siap.
“Ibu, anakmu ini pergi dulu ya, doakan Bu,” teriakku
dari teras selepas mengenakan sepatu.
“Eiitts ... tunggu Jeena, kamu lupa sesuatu. Pakai
parfum ibu, harumnya enak, in syaa allah nanti mereka suka,” cegat ibuku
sembari menghambur keluar dari dalam rumah mengejarku.
Pssttt ... pssttt ... pssttt .... ( parfum
disemprotkan )
“Nah, beginikan anak ibu tambah cakep, kamu itu sih
malas sekali pakai parfum,” kata ibuku.
“Iya, ibu sayang,” sahutku.
“Sekarang pergilah Nak, doa ibu menyertaimu.”
Anggukku tanda mengerti sambil mengucapkan salam
kepadanya.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, di jalan jangan lupa beli buah-buahan
untuk camer ya,” katanya terakhir sembari tersenyum manis padaku.
Setelah motor kuengkol. Tatapan mata ini fokus ke
depan. Memandang dengan optimis atas harapan yang selama ini tersimpan. Dengan
mengucapkan ‘Bismillah’ aku siap menepati undangan itu.
Lika-liku jalan kota ini aku telusuri. Lalu-lalang
kendaraan aku salip dengan tenang demi kebahagiaan yang menanti di ujung sana.
Sebuah firman Allah kupegang teguh selama perjalanan, berkali-kali kuulang
untuk menyemangati diri ini. ‘Fabiayyi alaa irobbikuma tukadziban...!!!’ dan
nikmat tuhanmu manakah yang kamu dustakan?.
Sesampai di sana,
Sebuah senyuman yang tidak pernah aku lupa sejak dulu
telah menanti di ambang pintu. Meski sudah begitu lama tidak bertemu namun senyum
itu tidak pernah hilang dari ingatanku.
“Assalamualaikum, Dik,” sapaku
“Waalaikumsalam, masuk Kak, bapak dan ibu sudah menunggu,”
sambutnya sembari mempersilahkanku untuk masuk.
Menunggu? Benarkah yang kudengar barusan. Seolah ini adalah
kata-kata yang sedikitpun belum pernah kubayangkan. ‘Berarti orang tuanya telah
menantiku’ itu yang terpikir dalam hati. Sejenak diri ini merasa menjadi lelaki
yang paling beruntung sedunia, bagaimana tidak selama bertahun-tahun hati ini
menutupi cinta ini sendiri dan tanpa diduga Allah memberikan jalan untuk
menggapainya. ‘Jeder..!!! Kun fayakun!’ ketika Allah berkehendak Jadi! Maka jadilah
perkara itu. Begitu pula dengan cinta dalam hati ini. Dan sore ini janji Allah
terbukti, aku diundang buka bersama dengan kedua orang tuanya. Apalagi kalau
bukan mengenai pembicaraan ke arah situ, optimis saja ... takut mendahului
kehendak Allah, tapi hati ini sudah terlanjur yakin.
Tak lama aku melangkah ke dalam rumahnya, Ibunya
mendekatiku dan menyapa.
“Nak Jeena, apa kabarnya?” sapa ibunya Fa.
“Alhamdulillah baik Bu,” sahutku.
“Ibu bagaimana?” sambungnya lagi.
“Alhamdulillah baik juga Bu.”
“Alhamdulillah kalau begitu, kenapa ibunya nggak
diajak sekalian Nak, kan ibu juga pingin ketemu.”
Sembari tersenyum, kujawab, “Ibu menemani adik bu, dia
takut kalau ditinggal sendirian, oh iya Bu, ini ada sedikit bawaan,” jelasku
sambil menyodorkan jeruk dalam kresek hitam yang kubeli tadi ketika di jalan.
“Oalah ... kok repot-repot toh Nak Jeena ini,
terimakasih ya Nak,” katanya sambil menerima bungkusan itu.
Sementara Fa di balik ibunya tersenyum dan dengan
isyarat untuk ibunya menarik lengan ibunya untuk masuk ke dalam.
“Ya sudah, Nak Jeena duduk dulu gih di ruang tamu,
bapak masih pakai baju nanti sebentar lagi dia nemuin Nak Jeena, ibu dan Fa mau
nyiapin makanan untuk berbuka dulu,” papar ibunya.
“Inggih Bu, terimakasih,” kataku sambil beringsut
untuk duduk di ruang tamu.
Beberapa saat kemudian sebuah salam memecahkan
kerancuan pikiranku sore ini. Bingung dengan apa-apa yang harus aku katakan di
depan orangtuanya. Sama sekali tak terduga, jadi sedikitpun aku tidak mengikuti
les atau kursus merangkai kata.
“Assalamualaikum Nak.”
Sebuah salam yang juga tak asing bagiku karena
beberapa tahun yang lalu aku pernah bersilaturahmi ke sini, dan beliau jadi
teman ngobrolku, tapi dalam kondisi berbeda. Dia adalah bapaknya Fa, sikap yang
lazim aku tunjukan dari gestur tubuhku. Pasti semua orang pernah mengalaminya,
berhadapan dengan sosok pelindung dari seorang wanita yang kita suka. Grogi.
“Waalaikumsalam Pak,” jawabku sembari bangkit
menyalaminya.
“Sudah lama ndak ke sini, apa kabarnya,?” tanya
beliau.
“Alhamdulillah baik Pak,” jawabku grogi.
Perbincangan panjang lebar kami mulai, dari kondisi
cuaca dan iklim akhir-akhir ini yang relatif panas, fenomena kehidupan dewasa
ini, serta kondisi politik menjelang pemilihan presiden yang ke-7 ini. Sama
seperti dulu, bahasa dan tutur katanya yang hangat seakan menghipnotis diri ini
agar terus meresapi percakapan kami. Bahkan nasehatnya mengenai umur ideal
untuk menikah tak luput diutarakannya. Ya! Aku tahu, pembahasan ini sudah
mengarah ke sana, dan ini pula yang aku harapkan, hehehe.
(Tiga puluh menit kemudian setelah kami selesai
berbincang-bincang di ruang tamu dan disusul dengan mengerjakan sholat maghrib
di surau terdekat.)
....
“Oh kalian sudah pulang dari sarau, ayo ayo sini ...
kita berbuka,” kata ibunya Fa mempersilahkan duduk di meja makan saat kami baru
selesai menunaikan ibadah sholat maghrib di surau sebelah.
“Ayo Nak Jeena, itu makanannya sudah disiapkan,”
sambung bapaknya.
“Silahkan duduk Kak,” sambung Fa.
“Terimakasih,” jawabku malu-malu.
Ternyata suasana satu meja dengan seseorang yang disuka
dan keluarganya itu rasanya sesuatu banget. Berjuta-juta rasanya. Ada malu,
grogi, senang, bahagia, takut, dan perasaan lainya lagi. Intinya lengkap.
Di meja makan ini aku duduk bersebelahan dengan
bapaknya Fa, dan di seberang meja tepat di hadapanku Fa yang duduk di samping
ibunya. Tak dapat kubayangkan betapa berdebarnya jantung ini. Tatkala
pandanganku dan Fa bertemu secepat kilat kami tertunduk ke meja.
“Dihabiskan ya Nak Jeena, jangan malu-malu ... ini
semua Fa yang buat, ibu Cuma membantu,” ledek ibunya pada Fa.
Fa yang tersipu malu terlihat mencolek ibunya yang
tersenyum senang. Sementara aku dan bapaknya sesekali beradu pandang, kemudian
tersenyum bersama.
‘Subahanallah ... sungguh enak masakannya, meski
terasa sedikit asin tapi tetap enak’ gumamku dalam hati.
“Nak Jeena,” panggil bapaknya
“Iya Pak,” jawabku.
“Dari cerita Fa, bapak yakin kalian cocok, jadi ...
kapan Nak Jeena mau melamar Fa?” tanya beliau sekonyong-konyong membuat aku dan
Fa kaget.
Terlebih diriku, seakan dapat serangan jantung saat
itu juga, tapi karena bahagia. Benar dugaanku, mimpi ini jadi kenyataan. Ya
Allah! Benarlah janjimu. Bertahun-tahun aku menyimpan cinta ini dan ternyata
orang tuanya merestui. ‘Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar!’ kumandang
takbir dalam hatiku, meneriakkan kemenangan hati selama ini. Senyum lebar jelas
tergambar di wajahku. Tak bisa dilukiskan dengan kata-kata ini, rasa ini begitu
indah.
Tiba-tiba terdengar sebuah teriakkan memanggil namaku.
“Jeenaaaaaaaaaaaa........!!!!!!!!”
Aku kenal suara itu, itu suara ibuku. Hah! Ibuku?
Kenapa ibu ada juga di rumahnya Fa, apakah ibu juga
datang ke sini tanpa aku tahu. Aku melongok melihat kanan kiri, tapi tak
kulihat sosok ibu di sini. Bahkan di kolong meja makan. Mana ibu?
“Jeeenaaaa....!!!!” teriak itu terulang lagi. Dan kali
ini tak hanya sebatas teriakan, sebuah air dalam skala besar mengguyurku dari
atas. Byuurr..!!! Semula kukira rumah Fa bocor! Hingga kepala dan rambutku
basah kuyup. Tapi yang kulihat adalah sosok ibuku tepat di depanku. Membawa sebuah
ember.
“Fa! Pak! Bu!” teriakku ketika melihat semuanya
tiba-tiba menghilang.
“Fa! Fa! Fa! itu saja yang kamu katakan! Mau tidur
sampai jam berapa lagi kamu....!!!! ini sudah maghrib...!!!” maki ibu
terhadapku.
“Mandi...!!!! sebentar lagi berbuka...!!!” sambungnya
lagi.
Sekali lagi kuamati sekitar, aku tak berada lagi di
rumah Fa melainkan di rumahku sendiri. Dengan tangan kananku menggenggam stick
playstation dan kondisi game yang masih menyala.
“Bu, aku ndak jadi kawin ya?” tanyaku pada ibu.
“Kawin! Kawin!” hardik ibuku sesaat sebelum dia
melengos kembali menuju dapur dengan meninggalkanku yang basah kuyup.
‘Ya Allah ... rupanya hanya mimpi’ kataku dalam hati.
Jambi, 09 Juli 2014
Gabung yuk di F*a*n*s*B*E*T*T*I*N*G
Ini pin bbmnya 5ee80afe :D
AJOQQ menyediakan 8 permainan yang terdiri dari :
Poker,Domino99 ,BandarQ,BandarPoker,Capsa,AduQ,Sakong,Bandar66 ( NEW GAME )
Ayo segera bergabung bersama kami di AJOQQ :)
Bonus : Rollingan 0.3% dan Referral 20% :)
I0nQQ*C0m
agen terbesar dan terpercaya di indonesia
segera daftar dan bergabung bersama kami.
p1n bb:*58ab14f5