Aqidahmu Kupertanyakan
Ko Jeena
Sejak beberapa hari ini Bang Kho Zin
terlihat begitu mendung. Seperti ia telah kehilangan pesona yang biasa
terpancar dari wajahnya. Bagaimana tidak, dirinya yang setiap hari memiliki
kepribadian periang dan gemar tersenyum kini seolah kehilangan jati dirinya.
Kemana dirinya yang lalu?. Begitu kontras, saat ini dirinya lebih sering
termenung dan menyendiri. Melihat kondisi itu pasti membuat setiap orang yang
mengenalnya khawatir, tidak terkecuali diriku sebagai adiknya tak kuasa melihat
ia selalu saja bermuram durja. ‘Ini pasti ada sesuatu’ pikirku.
Ahad sore yang begitu cerah, tak seperti
biasa aku melihatnya sedang terbengong di balik jamban pinggir kali. Matanya
kosong memandang lagit biru di kejauhan. Seperti ada sesuatu yang begitu dia
harapkan, namun raut lesu itu menandakan ketidakmampuan ia memiliki harapan
itu.
‘Pung ... pung ... pung ... Plung!’
Air kali nan kotor itu berkecipak, sesaat
setelah Bang Kho (panggilanku padanya) melemparkan sebuah batu pipih mendatar.
Beberapa kali membuat pantulan pada permukaan air sebelum batu itu tenggelam.
“Assalamualaikum Bang,” sapaku pada
Bang Kho sembari mendekat dan duduk di sisi kirinya.
Sementara Bang Kho yang masih
bergumul dengan lamunannya tak membalas salamku. Hingga setelah aku menyikut
dirinya dan ia tersentak kaget, baru ia membalasnya.
“Eh Jeena, Wa’alaikum salam,”
sahutnya dengan mimik wajah kaget.
Aku melihatnya hanya tersenyum simpul,
tatkala aku telusuri jua ujung arah pandangnya. Langit nun jauh di sana. Tak
ada apa-apa, selain seonggok awan yang berarak ke tenggara.
“Melamun Bang?” tanyaku.
“Idih ... siapa bilang, dalam kamus
abang ndak ada istilah melamun,” sanggahnya dengan mantap.
Lamat kutatap dirinya, aku tahu jika
dia menyembunyikan sesuatu. Itu adalah penyangkalan terburuk.
“Jadi, menghitung domba yang
melompat?” tanyaku kembali.
“Di langit tidak ada domba Jeena,
yang ada hanya putih awan.”
“Anggap saja itu bulu domba, sama
saja kan,” timpalku dengan canda.
Samar-samar kulihat Bang Kho
menyunggingkan bibirnya, walau itu tak bisa juga dikatakan senyum. Tapi
setidaknya lebih enakan jika dibandingkan dengan dia yang tadi.
“Kenapa kamu kemari? Ada sesuatu kah
yang ingin kamu ceritakan pada abang?” kini kembali Bang Kho yang bertanya
padaku.
“Tidak ada, aku hanya ingin menemani
abang. Di sini, di dekat jamban.”
“Beuh! Terkadang jamban adalah tempat
yang paling menenangkan saat kita butuh sendiri. Dunia tahu itu,” kata Bang Kho
berfilosofi.
Aku yang sejak dulu selalu mengagumi
setiap kata keluar dari mulut Bang Kho seakan terus terperanjat saat Bang Kho
berbicara. Seakan semua kata keluar itu ibarat madu, meskipun membahas masalah
jamban sekalipun. Ini serius. Apalagi ketika Bang Kho bertausiyah, walaupun aku
sedang sakit sekalipun tak akan pernah kutinggalkan sekali saja pengajian
bersama beliau.
Tapi kali ini seakan tersirat sesuatu
yang lain dari kata madunya itu. Sangat berbeda dengan makna harfiah tentang
kata-kata motivasi itu. Dan sejujurnya aku paham dia.
“Bukankah abang seharusnya mengisi
Halaqoh? Mas Richie dan lainnya telah menanti abang di musholla.”
“Itu tujuanmu kemari?”
“Salah satunya iya, Amanah dari Umi
Neny begitu. Soalnya Murrabbi mereka sedang ada kajian ke luar kota, makanya
abang yang isi,” paparku pada Bang Kho.
“Oh,” reaksi Bang Kho datar.
Sudah mulai tergambar jelas tentang
dugaan awalku pada beliau. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan dariku. Tak
biasanya Bang Kho seperti itu.
“Abang sedang ada masalah?” tanyaku
coba mengulitinya lebih dalam.
Biasanya aku yang kerap curhat
padanya. Namun apa salahnya jika kali ini kebalikan, Murrabbi curhat pada
Mutarabbi. Walaupun aku tahu jika pastinya Bang Kho pula memiliki Murrabbi
setingkat di atasnya, Ustadz-nya si Udtadz.
“Tidak kok.”
“Jujur?”
“Sedikit,” jawab Bang Kho akhirnya
sedikit ada celah untuk terbuka.
Kembali pelangi tergambar di
senyumku. Ini adalah pertanda keberhasilan. Untuk saat ini, kata ‘sedikit’ itu
seperti sebuah kata yang paling ingin kudengarkan.
“Ceritalah sedikit pada juniormu ini
Bang,” pancingku.
“Ini masalah orang dewasa,” katanya
lirih.
“Lah memangnya aku tidak dewasa bagaimana
Bang, akhir tahun ini aku kawin loh Bang,” kataku meyakinkan dia.
“Menikah maksudmu?” timpalnya.
“Seperti itulah, memangnya beda ya.”
“Tuh kan kamu belum dewasa, kawin itu
sesudah nikah,” jawabnya sedikit meledek.
“Tapi saat ini banyak kok Bang yang nikah
sesudah kawin,” sergahku ngeyel.
Sekejap wajah Bang Kho memandangku
dengan mata sedikit terbelalak. Dalam bahasa diamnya aku sulit mengartikan
sikapnya itu. Sedikit was-was jikalau aku salah ngomong. Tapi kupikir tidak,
lagi pula Bang Kho adalah tipikal cerdas. Tak berselang lama, pandangannya
kembali meneduh dan dia kembali pula pada posisi semulanya. Memandang langit di
kejauhan.
“Itulah gunanya kamu ikut Tarbiyah
Jeena, di situ bisa saling mengingatkan,” katanya menasehati diriku.
“Jadi kesimpulannya,” imbuhku.
“Kesimpulan apa?”
“Tentang hal berat yang membuat abang
termenung di sini.”
“Ya itu.”
“Apa?” tanyaku penasaran.
“Kawin ... eh, nikah.”
Mendengar kata itu keluar dari mulut
Bang Kho, aku mengernyitkan keningku. Tampak jelas kerutan di kening membentuk
pola tak beratur karena bingung penuh tanda tanya.
“Maksud abang, abang nik ...” belum
selesai aku menuntaskan kalimatku, buru-buru matanya memberondong nyaliku. Tatapannya
tajam menyayat-nyayat. Beberapa saat lamanya, sebelum wajah yang kukenal itu
menunduk ke bumi.
“Abang rasa kamu sudah paham Jeena,”
katanya memutus kalimatku.
Seketika perutku bergejolak. Kerongkongan
ini pun tercekat dengan apa yang hendak aku utarakan. ‘Waw! Ini berita besar’
hati ternyata telah teriak duluan. Kulihat kiri kanan, setelah kuyakin tak ada
orang buru-buru kumerapat pada Bang Kho. Kucondongkan bibir ini mendekat ke
telinganya.
“Maksud abang, abang nikah lagi,”
bisikku pada Bang Kho.
“Jangan asal bicara!” sejurus Bang
Kho mendorongku karena kaget terhadap apa yang kukatakan.
“Ini baru niat abang saja, belum
sampai menikah,” lanjutnya kemudian.
“Jadi baru akan toh, lalu ... istri
abang bagaimana?” tanyaku.
“Itulah masalahnya Jeena, bagaimana
cara meyakinkan istri abang tercinta agar abang diperbolehkan nambah lagi,”
kata Bang Kho lugas.
Kali ini benar-benar aku yang
terbengong dibuatnya. Melihat aku seperti itu, Bang Kho segera meluruskan
perkataannya.
“Kamu jangan salah paham Jeena, abang
akui jika Jamilah cantik dan soleha. Namun bukan itu. Niatan abang tulus, agar
Jamilah memiliki sosok pelindung baginya. Orang tuanya sudah lama tiada, jadi
abang kasihan padanya,” Papar Bang Kho.
“Oh, jadi Jamilah toh, si perawan di
ujung gang,” komentarku menyindir.
“Lalu bagaimana?”
“Bagimana apanya?” tanyaku pura-pura
tak paham.
“Cara meyakinkan kakak iparmu itu lah,
biar dia tidak marah.”
“Kan abang selalu bilang padaku jika
segala sesuatu itu harus kembali pada Al-Qur’an dan Hadits,” jawabku.
“Maksudmu?”
“Termasuk dalam hal ini juga bisa diterapkan
Bang.”
Semula posisi duduk Bang Kho yang
menyampingi diriku kini berubah. Ia putar badannya menghadap tepat ke arahku. Pandangan
matanya kini selidik ingin tahu.
“Jelaskan! Jelaskan!” pintanya dengan
semangat.
“Begini Bang.” Sejenak aku ambil
nafas panjang, kemudian melanjutkan kembali, “Istri abang pastilah wanita yang
soleha, oleh karena itu pastilah dia paham tentang ayat ke tiga dari surah
An-Nissa.”
“Lalu,” tanya Bang Kho sembari
mencondongkan badannya padaku.
“Jika ternyata istri abang
menolaknya, berarti dia mengingkari ayat itu. Artinya aqidah istri abang patut
dipertanyakan. Ha ha ha!” penjelasanku asal jeplak.
Semula aku kira Bang Kho tidak akan
menghiraukan pendapat anak ingusan sepertiku ini. Tapi ternyata dugaanku
meleset. Secepat kilat Bang Kho bangkit dari duduknya dan menyalamiku dengan
kuat. Tubuhku bergoncang begitu kencang. Raut pasi tadi sekejap berubah menjadi
wajah yang berbinar.
“Cerdaaas! Pintar kamu Jeena! Smart!
Tengkyu ... tengkyu!” kata-katanya seloroh keluar sambil menggoncang-goncangkan
lenganku. Secepat kilat Bang Kho ambil langkah seribu hendak meninggalkan aku
yang masih berada di pinggiran kali itu.
“Mau kemana Bang?!” tanyaku.
“Abang harus pulang menemui istri
abang segera!” teriaknya.
“Lah! Liqo’-nya bagaimana? Umi Neny
bilang abang yang mesti isi materi!” teriakku pula mengingatkan.
“Bilang pada Richie dan lainnya kalau
Liqo’-nya libur dulu!” teriaknya dari kejauhan.
Entah apa yang membuat Bang Kho
begitu bersemangat hingga dia lupa mengucapkan salam.
...
Beberapa saat setelah itu kuputuskan
menghadap Umi Neny untuk mengabarkan jika Bang Kho sibuk dan berhalangan
mengisi Halaqoh kelompok Richie. Namun sebelum aku menghadap pada mereka,
mendadak ponselku berdering. Ketika kuangkat ternyata di layar ponsel tertera
kontak Bang Kho dengan gambar profil berupa foto dirinya yang sok narsis di depan
kamera beberapa waktu lalu.
Kring ... kring ... kring! Segera kuangkat telpon panggilan dari Bang Kho.
“Assalamualaikum Bang,” sapaku.
“Wa’alaikumsalam ... Semprul Loe
Jeena! Ini hasil pendapatmu!” pekik Bang Kho lewat ponsel menegaskan dia sedang
marah besar.
“Berhasil ya Bang?” tanyaku
penasaran.
“Boro-boro berhasil, yang ada abang dirajam sama istri abang! Ini gara-gara
kamu! Bilang sama Richie dan lainnya. Liqo’-nya sore ini juga jadi! Pokoknya sampai
besok pagiii...!!! Assalamualaikum!” tegas Bang Kho.
“Wa’alaikum salam,” jawabku terheran.
Mendadak berkelebat pikiran dalam
benakku. Jadi apa Bang Kho kini setelah yang katanya dirajam istrinya. Ha ha
ha! Buru-buru aku ingin menemuinya.
Tamat!
Jambi, 28/08-2014